REPUBLIKA.CO.ID, Khalifah Umar bin Khattab menaklukkan Yerusalem dan merebut kembali Masjid Al-Aqsa pada 638 M. Pasukan Islam masuk ke al-Quds di Yerusalem (Aelia, Jebus) untuk mengusir tentara penjajah Bizantium (Romawi TImur) yang lalim. Penduduknya menetapkan syarat: kota suci itu hendaknya diserahkan kepada Khalifah Umat Ibn Khattab (Khalifah kedua sesudah Abu Bakar, kepala pemerintahan Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat) sendiri.
Atas undangan Saphronius, Uskup Agung al-Quds, datanglah Umar untuk menerima kunci kota. Di kala itulah pemimpin Islam tersebut mengeluarkan ikrarnya yang masyhur, bagi penduduk kota tujuan Nabi Muhammad berjalan malam (Isra) dan pangkal Mi'rajnya ke langit ke tujuh.
Kepada warga ia tetapkan, ''Demi Allah!, jaminan keamanan bagi diri mereka, kekayaan, gereja, dan salib mereka, bagi yang sakit, bagi yang sehat, dan seluruh masyarakat beragama di Kota Suci itu; bahwa gereja-gereja mereka tidak akan diduduki atau dihancurkan, takkan ada satu barang pun diambil dari mereka atau kediaman mereka, atau dari salib-salib maupun milik penghuni kota, bahwa para warga tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, bahwa tak seorang pun akan dicederai. Dan bahwa, tak seorang Yahudi pun akan menghuni Aelia.''
Menurut ''Al-Quds Document'' yang diterbitkan Organisasi Konperensi Islam, janji Umar bahwa ''tak seorang Yahudi pun menjadi penghuni Aelia, Jerusalem'' diberikan atas permintaan Saphronius sendiri. Ini mengingat pengkhianatan orang Yahudi, membantu penguasa Persia yang membawa lari Salib (tetapi berhasil direbut kembali oleh Heraclius) di awal abad ke-7 masehi. Namun Umar menolak permintaan uskup tersebut. Ia tetap memperbolehkan, orang-orang Yahudi tetap diberi hak memasuki dan tinggal di Jerusalem.
Ikrar itu disaksikan para Sahabat Nabi dan pahlawan Islam yang tersohor seperti Khalid Ibn Walid, Amr Ibn 'Aash, Abdurrahman Ibn Auf, dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Menurut catatan para pakar sejarah, penaklukan Jerusalem, Palestina dan Syam (Suriah) oleh pasukan Islam ternyata berjalan sangat mulus dan mudah. ''Boleh jadi orang-orang Suriah di abad ke-7 itu memandang kaum Arab Muslim lebih dekat kepada mereka dalam kaitan kesukuan, bahasa maupun barangkali juga agama, dibanding para penguasa Bizantium (Romawi Timur),'' tulis Philip Hitti.
Begitulah Umar membangun fondasi toleransi sejalan dengan semangat yang ditetapkan Islam: '"Tak ada paksaan dalam agama. Telah jelas beda petunjuk dan kebohongan.'' (QS Al-Baqarah). Para pakar sejarah mencatat betapa rakyat Palestina dan warga al-Quds menyambut baik datangnya kekuasaan Islam. Kebanyakan orang-orang itu beragama Kristen dan sebagian kecil di antara mereka orang Yahudi. Dan orang-orang Yahudi Samaritan bekerja sama dengan pasukan Islam dalam perebutan kota itu dari tangan kaum Bizantium.
Seorang rabbi Yahudi menulis tentang masa awal Islam ini, ''Jangan risau, wahai Putera Iahve, Sang Pencipta yang Maha Mulia menciptakan Kerajaan Ismail hanya untuk membebaskan kalian dari kejahatan ini (Bizantium).'' Kaum Kristen pun menyambut baik kekuasaan Islam dan bekerjasama dengan pemerintahan khalifah Muawiyah. Seorang ahli sejarah anggota Gereja Suriah Timur sampai mengungkap perasaannya dengan menulis, ''Tuhan telah mengirim orang-orang Arab untuk membebaskan kita dari genggaman kaum Bizantium. Kebaikan yang kita peroleh dari kekejian dan kebencian orang Bizantium sungguh bukan hal yang layak diremehkan.''