Ahad 26 Jul 2020 16:36 WIB

Pakar: Kurang Libatkan Petani, Food Estate Bisa Gagal

Kajian terhadap kelebihan dan kekurangan food estate harus benar-benar dikaji.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Indira Rezkisari
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Pemerintah menyiapkan lumbung pangan nasional untuk mengantisipasi krisis pangan dunia.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan Food Estate atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Pemerintah menyiapkan lumbung pangan nasional untuk mengantisipasi krisis pangan dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Riset Pangan Berkelanjutan, Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja, mengingatkan pemerintah agar tidak mengulang kegagalan pemerintah dahulu dalam mengerjakan proyek food estate atau lumbung pangan. Kesalahan itu adalah akibat kurang melibatkan petani dan masyarakat setempat.

Ronnie mengatakan, kajian terhadap kelebihan dan kekurangan food estate harus benar-benar dikaji secara mendalam. Kegagalan yang pernah dialami pemerintahan sebelumnya wajib menjadi catatan dan harus dihindari.

Baca Juga

"(Proyek) gagal utamanya karena pelibatan masyarakat petani dan kelembagaan yang salah. Terlalu government sentris. Segalanya pemerintah. Itu cikal-bakal kegagalan," kata Ronnie kepada Republika.co.id, Ahad (26/7).

Ia melanjutkan, berbeda halnya dengan pembangunan food estate di lahan milik perusahaan. Hal itu tentunya tergantung pada kebijakan perusahaan baik BUMN maupun swasta. Oleh sebab itu, Ronnie mengatakan, konsep lumbung pangan saat ini harus mengutamakan kolaborasi antara pemerintah, petani, dan korporasi.

Fungsi perusahaan, menurut Ronnie, sebaiknya fokus sebagai off taker atau penyerap hasil pertanian. Namun, pihak yang terjun langsung melakukan budidaya tanaman adalah petani.

"Komoditas dihasilkan oleh petani, maka hasilnya masuk ke petani, bukan perusahaan. Apalagi, pada situasi pandem yang membuat perlambatan ekonomi."

Lebih lanjut, Ronnie meminta pemerintah perlu mempriotaskan lahan-lahan optimal yang kering, bukan lahan rawa. Menurutnya seluruh jenis lahan rawa merupakan lahan marjinal. Yakni lahan yang memiliki kandungan unsur hara minimal sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

Untuk bisa meningkatkan unsur hara, dibutuhkan pupuk serta zat-zat pendukung untuk bisa mengubah lahan dari asam ke basa. Itu sebabnya, penggunaan lahan rawa membutuhkan biaya yang besar namun dengan hasil yang belum tentu optimal. "Butuh banyak perawatan karena memang dia lahan minimal, bukan lahan optimal untuk tanaman," katanya.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah bersama Badan Usaha Milik Negara tengah menggencarkan proyek food estate atau lumbung pangan modern di sejumlah wilayah. Proyek tersebut salah satu ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan menyikapi pandemi virus corona yang belum diketahui kapan berakhir.

Food estate pertama yang mulai digarap yakni di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah seluas 30 ribu hektare (ha) tahap awal. Selanjutnya, yakni food estate hortikultura di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara seluas 4.000 ha. Terakhir, yakni pilot project food estate beras di Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan luasan sekitar 1.000 ha.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement