REPUBLIKA.CO.ID, Al-Quds memang mempunyai ikatan tak terlepaskan dari agama-agama wahyu (samawi). Dan selama berapa di bawah pemerintahan Islam, rakyat Yerusalem hidup dengan damai dan penuh toleransi. Para khalifah, pangeran, dan penguasa Islam lainnya sangat memuliakannya. Mereka membangun masjid-masjid, dan mengizinkan pembangunan biara-biara, sinagog-sinagog, jalan, sekolah dan tempat pemakaman, dan memperlakukannya sebagai kawasan yang penuh nilai keagamaan.
Mereka menghias, memugar bangunan-bangunan lama dan mendirikan yang baru, membuat al-Quds benar-benar indah. Kebebasan beragama berlaku untuk seluruh warga tanpa kecuali, di samping memberikan keamanan dan ketenteraman kepada para peziarah.
Sangat bertentangan dengan itu, tatkala pasukan Salib Eropa menyerbu Yerusalem, hanya tinggal dua orang Yahudi yang tersisa di kota itu pad tahun 1267. Berangsur-angsur orang Yahudi berdatangan kembali. Maka, ketika Rabbi Obadia Dampier Tivoro dari Italia mengunjungi al-Quds pada tahun 1488 untuk mengenal keadaan masyarakat Yahudi, ia pun menuliskan kesan-kesannya, ''Orang Islam tidak menindas orang Yahudi di negeri ini. Saya melanglang ke berbagai pelosok tanpa ada yang menghalangi. Mereka murah hati dan bersikap baik kepada orang asing, utamanya yang tidak memahami bahasa mereka. Mereka juga tidak takut melihat orang-orang Yahudi berkumpul.''
Kebijakan Penguasa Islam Dawud menduduki Al-Quds, yang ketika itu bernama Jebus, yang abad ke-11 sebelum masehi. Dan pilihannya tepat mengingat kota itu memiliki perbentengan dan mudah dipertahankan. Juga, Jebus jauh dari daerah-daerah tempat tinggal suku-suku, serta berada di jalan penting masa itu. Dawud memang pahlawan dengan mengalahkan Jalut (Goliath) dalam peperangan, dan sebagai Rasul dialah penerima Zabur.
Putra Dawud, Sulaiman, mewarisi tahta serta memerintah selama 30 tahun, dan dalam masa pemerintahannya bertabur banyak kisah fantastik yang menyiratkan kemuliaan Rasul Allah SWT ini. Sulaimanlah pembangun Haikal yang batu-batunya diyakini kaum Yahudi masih tersisa serta terpasang di dinding ratapan, dan dinding ini tak lain adalah batas Masjid Al-Aqsa.
Tempat-tempat suci Kristen selama dalam pelukan tentara Muslim, tetap tidak diganggu gugat. Bahkan ketika Khalifah Umar memasuki kota ini, ia kemudian bersama Uskup Saphronius ke Gereja Kebangkitan, dan bersembahyang di luarnya. Ia bisa saja melakukan sholat di dalam gereja, tetapi itu tidak dilakukannya, dengan maksud agar orang Islam tidak terangsang merebut gereja itu dari tangan umat Kristen.
Juga, tatkala Muawiyah Ibn Abi Sufyan menjadi khalifah pada 40 Hijriyah, ia mengunjungi Bait Al-Maqdis (Al-Quds) dan bersembahyang di Golgotha, kemudian pergi ke Gethsemane serta melakukan shalat di Jirat Maria. Keduanya merupakan tempat-tempat paling suci agama Kristen di kota itu.
Dalam kunjungan ke al-Quds, Khalifah Umar juga bermaksud mencari tempat di mana Nabi Muhammad melakukan Mi'raj. Kepada Saphronius ditanyakannya ihwal Karang Suci, dan sisa-sisa Masjid Al-Aqsa. Setiba di sana dengan tangannya sendiri ia bersihkan kotoran yang bertumpuk, yang memang sengaja dilemparkan oleh orang Bizantium untuk menimbulkan kejengkelan warga kota. Dibentangkannya jubah lalu ditumpuknya kotoran-kotoran di jubah itu, diikuti orang-orang Islam lain. Setelah itu ia pergi ke ceruk tempat sembahyang Nabi Daud, bertakbir, berjusud. Ia bangun masjid di karang itu, yang dikenal sebagai masjid Kubah Karang Suci.
Salah satu monumen paling tua yang dirawat baik-baik oleh kaum Muslimin dan dpandang sebagai bagian dari warisan keagamaan mereka ialah Masjid Sulaiman, yang dikenal oleh para penulis Barat sebagai Haikal Sulaiman. Yang paling menarik perhatian masjid itu adalah Kubah Rantai, yang bergandeng dengan Kubah Karang di sisi timur. Tempat sembahyang di Kubah Rantai bertuliskan ayat Alquran: ''Dawud, Kami jadikan engkau penguasa di tanah ini. Memerintahlah dengan adil.'' masjid yang dibangun di ''tempat suci Nabi Dawud'' di Bukit Zion menurut para sejarawan adalah makam nabi itu. Dalam kompleks ini ada dua masjid, yakni Kubah Karang Suci dan Masjid Al-Aqsa, di samping yang disebut Kubah Musa serta Tahta Sulaiman.
Bukti betapa sayang kaum Muslimin kepada Bait al-Maqdis tampak dalam perkembangan masa-masa selanjutnya. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan melanjutkan pembangunan Masjid Kubah Karang dengan uang pajak kepala yang dikumpulkan selama tujuh tahun di Mesir.
Namanya diukirkan di Kubah itu, bertahun 72 Hijriyah. Khalifah dan pangeran silih berganti memugar serta menghias, membuatnya ''bangunan paling indah di dunia atau salah satu monumen paling diabadikan sejarah''. Abdul Malik membangun Al-Aqsa lebih lanjut dan diselesaikan oleh anaknya, Al Walid. Raja Taqiyuddin Ibn Shahinshah yang perkasa, bahkan mengepel lantai Masjid Kubah Karang dengan tangannya sendiri, lalu menyiraminya berkali-kali, dan diakhiri dengan siraman air mawar.
Raja Bani Ayyub mengawali penghiasan Masjid Al-Aqsa. Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) terbiasa sekali membawa batu-batu dengan kuda dalam pembangunan dinding kota. Salahuddin inilah yang membawa pasukan Islam menembus pertahanan Al-Quds. Tetapi ia jugalah yang memerintahkan pemugaran kota sampai kepada kondisi yang ada sebelumnya. Ia cuci bersih Masjid Al-Aqsa dan Kubah Karang, dan membuat mimbar yang kemudian dikenal sebagai Mimbar Saladin. Ia juga melanjutkan perluasan Masjid Al-Aqsa dan memulihkan kaligrafinya, sampai masjid it memperoleh kembali kecantikan, keanggunan dan keangungannya.
Semua itu ia lakukan untuk membersihkan kota dari bekas-bekas kekejian pasukan Eropa, yan gtelah menimbulkan bencana terhadap al-Quds pada penyerbuan tahun 1099. Darah ribuan penduduk kota tertumpah di Masjid dan Kota. Ketika Saladin membebaskannya, ia perlakukan prajurit-prajurit Eropa justru dengan cara yang bertolak belakang: penuh toleransi dan maaf. Sampai Stanley, Linpowel, dalam buku sejarahnya tentang Saladin, menulis, ''Proses perebutan Jerusalem oleh Saladin, sudah merupakan fakta tentang sikapnya yang ksatria dan murah hati.''
Al-Quds, dalam suasana Keislaman, memulai babak baru sejarahnya, sebagai pusat spiritual, menyambung rantai sejarah yang terentang selama 1300 tahun. Kecemerlangan memancar dari kawasan Palestina yang Islam. Namun sekarang, Mimbar Saladin musnah, dibakar seorang Yahudi pada 1972. Sejarah Yahudi memang merupakan rantai kesinambungan, dari satu ke lain laku pengkhianatan.