Selasa 28 Jul 2020 00:18 WIB
Banjir Bandang Mengubur Kampung Halaman

Banjir Bandang,

Badan geologi menyimpulkan sementara bahwa banjir bandang ini adalah bencana geologi.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Rumah warga rusak berat diterjang banjir bandang yang disertai lumpur, pasir dan bongkahan kayu di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Ahad (26/7).
Foto: Fuji Eka Permana/Republika
Rumah warga rusak berat diterjang banjir bandang yang disertai lumpur, pasir dan bongkahan kayu di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Ahad (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Mata seorang ibu yang memerah karena terlalu lama menangis, mulai berkaca-kaca kembali saat menceritakan banjir bandang disertai lumpur, pasir dan bongkahan kayu merusak ribuan rumah di Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan pada Senin (13/7). Tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya, Irawati ibu berusia 38 tahun tersedu-sedu mengenang peristiwa yang memilukan.

Irawati bersama suami dan dua anaknya, awalnya tinggal di Kampung Lontang, Kelurahan Bone, Kecamatan Masamba, Luwu Utara. Pada Senin (13/7) malam air luapan Sungai Masamba sudah menenggelamkan rumahnya sampai setinggi pintu rumah, sebelum diterjang banjir bandang yang membawa lumpur, pasir dan bongkahan kayu pada Selasa (14/7) malam.

"Alhamdulillah kami masih disayang Allah, diberi banjir pada Senin malam, seandainya tak dikasih banjir Senin malam itu sebagai pertanda mungkin kami sudah meninggal dunia," kata Irawati mengungkapkan rasa syukur sambil berkaca-kaca tidak mampu menyembunyikan rasa sedihnya saat diwawancarai Republika, Ahad (26/7).

Irawati bersama keluarga dan tetangganya segera mengungsi sejak Senin (13/7) malam. Sehingga mereka selamat dari banjir yang membawa lumpur, pasir dan bongkahan kayu. Namun ada seorang tetangganya yang meninggal dunia saat berusaha menyelamatkan anaknya pada saat banjir bandang Selasa (14/7) malam. 

photo
Warga korban banjir bandang memandikan anaknya di sekitar pengungsian Perbukitan Desa Meli, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Senin (20/7/2020). Jumlah pengungsi korban banjir bandang hingga saat ini mencapai 14.483 jiwa dengan tersebar di sejumlah wilayah terdampak seperti Masamba 7.748 jiwa, Baebunta 5.808 jiwa dan Sabbang 927 jiwa. - (ANTARA/Abriawan Abhe)

Di satu wilayah padat pemukiman di Kelurahan Bone, Kecamatan Masamba lumpur dan pasir telah menenggelamkan kampung halaman warga. Ada banyak rumah yang tertimbun lumpur dan pasir di sana. Di atas hamparan luas lumpur dan pasir banyak berserakan bongkahan pohon mulai dari yang berukuran kecil, sedang dan besar.

Ada rumah yang hilang dihanyutkan banjir bandang dan tenggelam di dalam lumpur. Ada juga rumah-rumah yang hanya nampak bagian atapnya saja. Rumah yang berada tidak jauh dari aliran sungai juga banyak yang hancur total diterjang banjir.

Ketika memasuki wilayah Masamba dan sekitarnya, lumpur dan pasir nampak di mana-mana. Jalan sekolah, perkantoran, masjid, rumah warga dan bangunan-bangunan lainnya terendam lumpur dan pasir setinggi sekitar setengah meter sampai satu meter.

Irawati kini mengungsi di rumah saudaranya yang diisi oleh 50 orang warga terdampak banjir bandang. Sementara pengungsi lainnya masih banyak yang tinggal di tenda darurat. Pemerintah Kabupaten Luwu Utara menyampaikan masih ada sekitar 14 ribu orang yang tinggal di pengungsian.

Asiyah seorang janda berusia 30 tahun ibu dari tiga anak tinggal di tenda darurat pengungsian. Rumahnya di Kampung Petambua, Desa Rada, Kecamatan Baebunta sudah tidak ada bekasnya akibat terbawa hanyut banjir bandang.

Sudah hampir dua pekan Aisyah dan anak bungsunya yang masih berusia lima tahun tinggal di tenda darurat yang terbuat dari terpal. Bila terjadi hujan besar, air hujan biasa masuk ke dalam tenda darurat.

Asiyah, Irawati dan korban banjir bandang lainnya sama-sama membutuhkan bahan makanan seperti beras dan peralatan untuk memasak. "Yang dibutuhkan alat dapur, satu tenda pengungsi ada empat rumah tangga, makanan dan pakaian alhamdulillah, kalau ada butuh beras dan yang utama alat dapur," ujar Aisyah yang sudah dua pekan tinggal di tenda darurat.

Banyaknya bongkahan pohon yang dibawa oleh banjir bandang membuat sebagian masyarakat korban banjir menduga adanya hutan yang rusak di wilayah hulu sungai. Namun masyarakat tidak mengetahui kerusakan hutan tersebut terjadi secara alami atau karena ada perusakan hutan.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Luwu Utara, Nurul Haq menyampaikan, kegiatan belajar dan mengajar lumpuh karena 15 madrasah, tujuh pesantren dan 15 masjid terdampak banjir bandang. Menurutnya, bencana banjir bandang yang membawa lumpur, pasir dan bongkahan kayu belum pernah terjadi sebelumnya.

"Kalau dari pandangan lingkungan (banjir bandang karena) ada yang perambah hutan, mengalihfungsikan hutan dari hutan lindung menjadi hutan fungsi, termasuk adanya perkebunan kelapa sawit," ujarnya.

Sekretaris Tim Penanggulangan Bencana (TPB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustaz Nadjamuddin Ramly menanggapi isu yang berkembang tentang adanya perusakan hutan di daerah hulu sungai. Ia menyampaikan, harmoni manusia dengan alam harus didahului harmoni manusia dengan Allah dan harmoni manusia dengan manusia. Karena manusia itu bagian dari alam, maka manusia juga harus harmoni dengan alam.

Mengutip Surat Ar-Rum Ayat 41, Ustaz Ramly mengingatkan, bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Menurutnya, kalau ekologi tidak seimbang akan terjadi malapetaka dan bencana.

"Hutan-hutan yang ada di Luwu Utara ini berganti menjadi kebun kelapa sawit yang tadinya bukit-bukit ditumbuhi pohon besar digunduli, karena hak penguasaan hutan yang diberikan sudah ugal-ugalan oleh pemerintah di zaman lalu," ujarnya.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat ini mengingatkan semuanya untuk memulihkan lingkungan hidup. Bencana bisa terjadi di masa yang akan datang kalau tidak melakukan reboisasi atau penghijauan hutan kembali.

Banjir Bandang Bencana Geologi

Bupati Luwu Utara Indah Putri Indrian menerangkan, belum bisa menyimpulkan penyebab banjir bandang meski sudah mendapat laporan dari pemerintah provinsi, badan ekoregion dari kementerian dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Berdasarkan data sementara yang ditemukan terjadi ratusan titik longsor di wilayah pegunungan tapi bukan karena pembukaan lahan. 

photo
Warga korban banjir bandang bersama relawan mengatur bantuan logistik di sekitar pengungsian Perbukitan Desa Meli, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Senin (20/7/2020). Jumlah pengungsi korban banjir bandang hingga saat ini mencapai 14.483 jiwa dengan tersebar di sejumlah wilayah terdampak seperti Masamba 7.748 jiwa, Baebunta 5.808 jiwa dan Sabbang 927 jiwa. - (ANTARA/Abriawan Abhe)

"Karena pegunungan di Kabupaten Luwu Utara ini tingkat kelerengannya sangat curam, sangat sulit untuk dilakukan aktivitas penebangan di sana, itu sementara kesimpulan dari badan geologi, badan geologi juga masih sementara merampungkan hasil kajian," kata Indah saat menerima kunjungan TPB MUI yang mempertanyakan penyebab banjir bandang pada Ahad (27/7) malam.

Indah mengungkapkan, selama menjabat sebagai wakil bupati sampai sekarang menjadi bupati Luwu Utara tidak pernah ada izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin pertambangan juga tidak ada di wilayah hulu sungai. Memang ada alih fungsi lahan dari primer ke sekunder, tapi sampai sekarang belum ada aktivitas di sana.

Dia menyampaikan, ada tiga sungai penyebab banjir bandang di antaranya Sungai Rada, Sungai Masamba dan Sungai Rongkang. Di tiga hulu sungai tersebut ada ratusan titik longsor. Di daerah hulu Sungai Rongkong dulu di masa orde baru ada daerah yang dijadikan kawasan terbuka untuk diambil kayunya. Letaknya di daerah Mangkaluku, Luwu Utara.

"Banyak sekali faktor penyumbang bencana karena kalau ada bencana tidak ada faktor tunggal, pertama kelerengan gunung di Luwu Utara khususnya Gunung Melero, Gunung Magandrang dan Gunung Damaro yang ada di hulu sungai itu kelerengannya sangat curam," ujarnya.

Bupati Luwu Utara mengaku bukan ahlinya menilai penyebab bencana banjir bandang di wilayahnya. Namun, dia melihat bongkahan kayu yang dibawa banjir bandang sudah lapuk. 

Pegunungan di Luwu Utara terdiri dari batuan granit, pasir dan pohon-pohon besar di atasnya. Sehingga pohon-pohon besar tersebut menjadi beban. "Mungkin orang geologi yang lebih tepat untuk menjelaskan ini tapi ini informasi awal saja itu faktor alamnya," ujarnya.

Bupati Luwu Utara mengatakan, badan geologi menyimpulkan sementara pada saat rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait bahwa ini adalah bencana geologi. Jadi untuk sementara disimpulkan banjir bandang di Luwu Utara adalah bencana geologi.

Mengenai banyaknya bongkahan pohon yang terbawa banjir bandang karena terjadi longsor di kawasan hutan primer. Sehingga, longsoran itu membawa material yang ada di atasnya seperti pohon dan di bawahnya material yang umumnya pasir juga ikut terbawa hanyut.

"Sementara itu dari pantauan langsung di lapangan, kemudian hasil dari citra satelit dan hasil drone itu ditemukan titik longsoran cukup banyak (di wilayah hulu sungai)," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement