REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keberadaan poligami sebagai sebuah ajaran dalam Islam masih menjadi perdebatan di kalangan umat dan ulama. Meski secara tekstual terdapat dalil yang menyebut tentang poligami, namun ada penjelasan tentang dalil tersebut.
Jika poligami dipahami sebagai sebuah anjuran yang didukung oleh ‘support’ dalil, maka bagaimana hukumnya jika bapak membela anak perempuannya yang menolak dipoligami? Apakah pembelaannya terhadap anak perempuannya itu menjadi sebuah tindakan yang menentang ‘ajaran’ agama mengenai poligami?
Pendiri Fahmina Institute, Ustaz Abdul Kodir, mengatakan, hukum bapak membela anak perempuannya yang enggan dipoligami sangat dibolehkan. Menurut dia, secara esensi, cita-cita atas pesan dakwah Islam yang disuarakan dalam pernikahan adalah monogami yang berkeadilan.
Bukan pesan poligami yang kerap dimaknai secara sepihak. Dia menjelaskan, pernikahan harus menjaga nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan juga kemaslahatan, maka pasangan baik suami atau istri sama-sama subjek yang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan tersebut. Untuk itu, kata dia, apabila seorang istri menolak untuk dipoligami, maka sang bapak istri itu boleh membelanya.
Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib hendak melakukan poligami atas istrinya, Fatimah Az-Zahra yang merupakan anak Rasulullah SAW, Nabi pun segera berdiri dan berkhutbah.
“Nabi bersabda: saya tidak rela, saya tidak rela, saya tidak rela,” kata Ustaz Faqih dalam diskusi ‘Dialogue Positive’ ke-89, Senin (27/7).
Selanjutnya, Rasulullah juga menjelaskan alasannya tidak rela anaknya untuk dipoligami. Menurut Rasulullah—sebagaimana yang tercatat dalam hadits shahih Imam Bukhari—Fatimah merupakan darah daging atau separuh beliau (bidh’atun minni). Sehingga apabila ada yang menyakiti Fatimah, maka Rasulullah menyamakannya sebagai tindakan yang sama saja menyakiti beliau.
Menurut Ustaz Faqih, hadis tersebut merupakan penegasan (sunnah) Rasulullah tentang pentingnya monogami. Monogami yang dimaksud adalah monogami yang berkeadilan. Ketika Fatimah tidak menerima dipoligami, artinya dia menolak untuk disakiti.
“Sedangkan dalam Islam, prinsip dan cita-cita luhur pernikahan itu adalah bagaimana menjaga keadilan, kemaslahatan, dan juga tidak menyakiti dan tidak menyia-nyiakan,” ungkapnya.
Maka, apabila kesadaran dalam membangun monogami yang berkeadilan itu dijalankan laki-laki maupun perempuan, cita-cita kemaslahatan dalam rumah tangga akan terwujud. Dia menambahkan, selain membela anaknya untuk tidak dipoligami, Rasulullah sejatinya merupakan sosok yang mendukung pesan monogami.
Misalnya, kata dia, hal itu banyak terekam dalam berbagai hadits sahih. Tentang bagaimana Rasulullah mengagung-agungkan pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah yang menghasilkan kemaslahatan, baik untuk diri beliau, untuk Sayyidah Khadijah, dan masyarakat.
Sementara itu, aktivis Islam Ustazah Nur Rofiah yang menjadi salah satu pembicara dalam dialog tersebut mengatakan, apabila seorang suami melakukan nusyuz (tindakan yang merusak pernikahan, seperti membangkang, selingkuh, membohongi, menyakiti, dan lainnya) dan hendak melakukan poligami, maka sang istri boleh mengajukan cerai apabila tidak mau dipoligami.
“Sebab, apa yang dilakukan suami merupakan bentuk dari tindakan yang menyakiti. Sedangkan prinsip dari pernikahan itu harus adil, harus menghasilkan kemaslahatan satu sama lain,” ungkapnya.
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan memang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Namun, keduanya merupakan makhluk Allah yang berstatus subjek dalam kehidupan yang dianugerahkannya. Maka ketika keputusan berpoligami, menurut beliau, bukanlah keputusan yang dapat diambil sepihak oleh suami saja.
“Kalau poligami hanya diartikan sebagai wewenang absolut laki-laki, artinya tanpa perlu izin istri atau kemaslahatan istri, maka perempuan masih dianggap sebagai objek. Padahal, Islam sangat memuliakan perempuan,” kata dia.
Maka, dalam Alquran terdapat ayat yang mengatakan pesan tentang pernikahan monogami yang harus disuarakan. Dalam Surah An-Nisa Ayat 3, Allah SWT berfirman: “Wa in khiftum alla tuqsithu filyatama fankihu maa thaba lakum minannisa-i matsna, wa tsulasa, wa ruba’a. Fa in khiftum alla ta’diluu fawaahidatan aw maa malakat aymanukum, dzalika adna alla ta’ulu,”.
Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi (dan perempuan itu pun senang denganmu): dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sehingga, kata Ustazah Nur Rofiah, tuntutan bermonogami itu merupakan tindakan yang disuarakan dalam agama. Di mana disebutkan apabila seorang laki-laki takut tidak dapat berlaku adil, lebih baik ia bermonogami. Sebab, bermonogami merupakan tindakan yang dapat mendekatkan dirinya terhadap sikap keadilan dan tidak berbuat aniaya.