Selasa 28 Jul 2020 09:48 WIB

Kementan Turunkan Kasus Rabies di Bali dengan Vaksin Massal

Peningkatan kasus rabies tak terlepas dari tingginya populasi anjing di Bali

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita saat membuka Rapat Koordinasi Pemberantasan Rabies Bali 2020 di Denpasar, Bali, Senin (27/7).
Foto: Kementan
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita saat membuka Rapat Koordinasi Pemberantasan Rabies Bali 2020 di Denpasar, Bali, Senin (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kementerian Pertanian RI (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) berhasil menurunkan kasus penyakit rabies di Bali pada tahun ini. Hal ini disampaikan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, saat membuka Rapat Koordinasi Pemberantasan Rabies Bali 2020 di Denpasar, Bali, Senin (27/7) lalu.

I Ketut Diarmita menjelaskan pada tahun 2019 jumlah kasus positif rabies sampai bulan Juli ada sebanyak 144 kasus, sedangkan di tahun 2020 pada bulan yang sama ada sebanyak 66 kasus. Artinya ada penurunan kasus rabies.

Baca Juga

"Penurunan kasus penyakit rabies ini tidak terlepas dari suksesnya program vaksinasi massal yang dilakukan tahun 2019," kata Ketut.

Ia menambahkan, terjadinya fluktuasi peningkatan kasus positif rabies di Provinsi Bali tidak terlepas juga dari tingginya populasi anjing yang diperkirakan mencapai 649.028 ekor. Ini menurutnya akan menjadi tantangan tersendiri dalam rangka pembebasan rabies di Provinsi Bali.

Terlebih, sebanyak 61 persen dari populasi anjing tersebut adalah anjing berpemilik yang dilepasliarkan. Alasan banyak pemilik yang melepasliarkan anjingnya ini karena kurangnya kepedulian dan kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies, serta kurangnya edukasi adanya potensi penularan virus rabies dari anjingnya.

"Selain itu, perpindahan anjing dari daerah positif rabies ke daerah lainnya di Provinsi Bali yang masih tinggi juga ikut mendukung peningkatan kasus rabies di Bali tahun 2019," imbuh Ketut.

Tahun 2020 sampai dengan bulan Juli, anjing masih menjadi penular utama rabies di Bali yaitu sebanyak 100 persen. Sedangkan, rata-rata jumlah kasus positif rabies per bulan di Provinsi Bali ada 9 kasus. Kasus rabies paling banyak ditemukan di Kabupaten Karangasem  sebanyak 22 kasus.

Kasus positif rabies mayoritas terjadi pada anjing yang belum divaksin, 50/66 (75,76 persen), pada anjing berpemilik yang diliarkan sebanyak 50/66 (75,76 persen), dan kebanyakan terjadi pada anjing-anjing umur di bawah 12 bulan, 44/66(66,66 persen).

Sekadar informasi, alokasi anggaran Tahun 2020 dari pusat melalui TP untuk pengendalian dan penanggulangan rabies di Provinsi Bali sebesar Rp 5.857.300.000 dan sudah terealisasi sebesar Rp 5.171.562.000  atau 88 persen. Adapun realisasi anggaran tersebut dipergunakan untuk pengadaan vaksin sebanyak 400 ribu dosis dengan anggaran Rp 4.888.400.000 dan kegiatan koordinasi serta Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebesar Rp 283.162.000.

Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan, vaksinasi dalam rangka pemberantasan rabies di Bali sejatinya sudah dimulai pada bulan Januari 2020. Namun, karena adanya keterlambatan pengadaan vaksin akibat pandemi Covid-19, maka vaksinasi massal baru dilakukan Bulan Juni 2020.

Ia menyampaikan, pelaksanaan vaksinasi massal pada anjing dari bulan Januari sampai dengan tanggal 22 Juli 2020 sudah mencapai 69.992 ekor dengan cakupan vaksinasi se-Provinsi Bali sebesar 6,69 persen dari perkiraan populasi anjing di seluruh Bali sejumlah 649.028 ekor (Data Dinas Pertanian Provinsi Bali).

Adapun rincian cakupan vaksinasi per Kabupaten adalah Badung (2,07 persen), Bangli (20,23 persen), Buleleng (4,48 persen), Gianyar (6,48 persen), Jembrana (5,53 persen), Karangasem (17,08 persen), Klungkung (20,17 persen), dan Tabanan (25,60 persen).

"Tapi, sebenarnya cakupan vaksinasi di setiap kabupaten/kota masih di bawah standar, karena standar cakupan vaksinasi minimal 70 persen," ungkap Fadjar.

Hal ini karena adanya penolakan dari para pemilik anjing maupun lembaga swadaya masyarakat melalui media sosial terhadap pengendalian populasi anjing melalui eliminasi tertarget pada anjing liar dan diliarkan yang belum ter vaksinasi rabies. Disamping itu, eliminasi tertarget pada anjing liar dan diliarkan juga menjadi kendala karena tidak tersedianya bahan kimia/obat yang bisa digunakan untuk melakukan eliminasi tertarget sesuai kaidah-kaidah kesejahteraan hewan.

Ia berpendapat, tingginya kasus rabies di Bali pada tahun 2019 lalu harus menjadi momentum untuk mengevaluasi kegiatan pengendalian dan pemberantasan rabies di Bali. Misalnya, melakukan vaksinasi massal secara intensif, massif dan dalam waktu yang singkat.

"Karena itu vaksinasi massal tahun 2020 perlu segera ditingkatkan. Kebijakan depopulasi anjing secara selektif dengan berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat, serta penyuluhan tentang bahaya rabies secara terus menerus juga perlu digalakkan agar masyarakat paham betul akan bahaya rabies," tandasnya.

Sementara itu, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) meminta sosialisasi dan edukasi terhadap bahaya rabies harus terus dilakukan secara masif. Hal ini untuk menjadikan Indonesia bebas rabies.

“Gencarnya upaya sosialisasi dan pemahaman tentang bahaya rabies kepada masyarakat, diharapkan penyebaran virus rabies dapat dihentikan yang pada akhirnya target Indonesia bebas rabies akan tercapai,” harap Menteri SYL.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement