REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Perdana Menteri Libya Fayez Al-Sarraj mengatakan setiap gencatan senjata di masa depan harus memastikan tidak ada ancaman terhadap kota-kota dan wilayah-wilayah strategis. Hal ini ia sampaikan saat bertemu dengan pejabat yang terlibat dalam 5 + 5 Military Committee, sebuah komite yang dibentuk untuk menciptakan perdamaian di Libya.
Seperti dilansir dari kantor berita Turki, Anadolu Agency, Selasa (28/7) Sarraj mengatakan perkembangan militer di Libya adalah landasan negara itu. Berdasarkan situasi militer, proses politik dan ekonomi akan tumbuh lebih jelas.
Pemerintahan Sarraj yang didukung PBB mengatakan perdamaian abadi tergantung pada apakah pasukan yang dipimpin Khalifah Haftar mundur dari posisi strategis mereka. Pemerintahan Libya didirikan berdasarkan perjanjian yang dipimpin PBB pada tahun 2015.
Namun upaya untuk menetapkan perdamaian politik jangka panjang gagal. Pasalnya, Haftar yang didukung Prancis, Rusia, Uni Emirat Arab dan Mesir menggelar serangan ke pemerintah Libya.
Sejak April 2019 lalu pasukan Haftar melancarkan serangan ke ibu kota Tripoli dan sebagian barat laut negara itu. Serangan tersebut sudah menewaskan lebih dari 1.000 orang termasuk warga sipil, perempuan dan anak-anak.
Pemerintah Libya meraih kemenangan-kemenangan signifikan baru-baru ini. Mereka berhasil mendorong pasukan Haftar keluar dari Tripoli dan kota strategis Tarhuna. Turki mendukung pemerintah Libya dan sejak bulan November lalu kedua negara telah menandatangani pakta kerja sama keamanan.