REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pandemi Covid-19 tak menghentikan Universitas Indonesia (UI) untuk menggelar sidang sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi dengan promovendus atas nama Said Romadlan. Sidang digelar secara online di Aula Juwono Sudarsono (AJS) Kampus UI Depok, Senin (27/7).
Said menyampaikan penelitian disertasinya yang berjudul "Diskursus Gerakan Radikalisme dalam Organisasi Islam (Studi Hermeneutika pada Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang Dasar Negara, Jihad, dan Toleransi)". Tim promotor terdiri dari Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si (Promotor) dan Prof Effendi Gazali, M.Si, M.P.SI.D., Ph.D (Kopromotor).
Said yang juga dosen Uhamka Jakarta ini menjalankan sidang terbuka dan dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dalam kesimpulan hasil penelitiannya, Said menguraikan, bagi organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), Pancasila adalah pilihan final dan terbaik.
Menurutnya, Pancasila merupakan hasil perjanjian seluruh elemen bangsa. Dalam pemahaman Muhammadiyah, Pancasila adalah darul ahdi wa syahadah (Negara Konsensus dan Kesaksian).
Sedangkan NU memahami Pancasila sebagai mu’ahadah wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan).
"Peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU mengenai Pancasila tersebut sekaligus menjadi kritik dan perlawanan atas upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengganti dan mengubah Pancasila sebagai ideologi bangsa," ujarnya dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (28/7).
Said menggunakan metode penelitian analisis isi hermeneutika. Ia menjelaskan, Pemahaman dan sikap Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) atas Pancasila sebagai pilihan terbaik dan final merupakan hasil penafsiran ayat al-Qur’an dan refleksi kedua organisasi Islam terbesar Indonesia tersebut atas Pancasila.
Muhammadiyah merujuk pada al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15 "baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur" yang artinya: sebuah negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah SWT”. Kalimat tersebut oleh Muhammadiyah ditafsirkan sebagai Negara Pancasila.
Sedangkan NU mengacu pada al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30: "khalifah fil ardhi”, “khalifah” ditafsirkan NU sebagai melaksanakan amanat Allah melalui NKRI dan Pancasila."
"Pancasila sebagai pilihan terbaik dalam pandangan Muhammadiyah dan NU bukanlah pandangan politik yang didasarkan atas kepentingan pragmatis dan jangka pendek. Pandangan kedua organisasi Islam moderat ini dihasilkan melalui proses refleksi dan dialektika keduanya atas sejarah lahirnya Pancasila di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU,” tulisnya.
Selain meneguhkan pandangan dan sikap tentang Pancasila sebagai pilihan terbaik dan final, dalam disertasinya diuraikan pula mengenai pandangan Muhammadiyah dan NU mengenai jihad dan toleransi terhadap non-muslim. Dalam pandangan Muhammadiyah dan NU jihad bukanlah diwujudkan dalam bentuk kekerasan, apalagi terorisme.
Bagi Muhammadiyah jihad adalah jihad lil-muwajahah, yakni bersungguh-sungguh menciptakan sesuatu yang unggul dan kompetitif. Sedangkan bagi NU jihad adalah sebagai mabadi’ khaira ummah, yaitu bersungguh-sungguh mengutamakan kemaslahatan umat.
"Muhammadiyah dan NU sejak awal dikenal sebagai organisasi Islam yang toleran terhadap non-muslim. Bagi Muhammadiyah toleransi terhadap non-muslim sebagai ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), sedangkan bagi NU adalah sebagai ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan),” ujar Said menjelaskan perihal toleransi terhadap non-muslim.