Selasa 28 Jul 2020 16:18 WIB

Dunia Semakin Khawatir Perselisihan AS dan China Memanas

Sejumlah isu memperparah perselisihan antara China dan AS

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Bendera China-Amerika. Perselisihan antara China dan Amerika Serikat semakin parah
Foto: washingtonote
Bendera China-Amerika. Perselisihan antara China dan Amerika Serikat semakin parah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perselisihan antara Amerika Serikat (AS) dan China mengguncang pemerintahan di seluruh dunia. Perselisihan itu mendorong pejabat Jerman memperingatkan akan adanya 'Perang Dingin 2.0' dan presiden Kenya menyerukan persatuan dunia di tengah pandemi virus corona.

Perang dagang antara dua perekonomian terbesar selama dua tahun terakhir telah menenggelamkan perekonomian dunia dalam ketidakpastian. Ketegangan AS dan China semakin diperparah oleh isu Hong Kong, muslim Uighur, tuduhan spionase, dan Laut China Selatan.

Baca Juga

Pemerintah-pemerintah negara lain yang terjebak di antara dua kekuatan terbesar di dunia itu mencoba membela kepentingan mereka masing-masing. Pemerintah negara-negara lain berlayar di antara dua karang.

Respons Jerman

Kanselir Jerman Angela Merkel ingin menjaga kerja sama dalam isu pemanasan global dan perdagangan dengan China. Tapi ia mengatakan undang-undang keamanan yang Beijing berlakukan di Hong Kong sebagai 'isu yang sulit'.

Pada Senin (27/7) kemarin, Merkel mengatakan potensi gangguan dari undang-undang keamanan Hong Kong bukan alasan untuk berhenti berbicara dengan Beijing. Tapi Merkel mengatakan 'perkembangannya cukup mengkhawatirkan'.

Hingga kini perekonomian terbesar di Eropa belum memastikan sikap mereka terhadap Huawei walaupun AS sudah menekan Jerman untuk mengeluarkan perusahaan China itu dari pembangunan jaringan telekomunikasi di masa depan.

"China adalah mitra penting kami tapi juga kompetitor," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas usai menggelar telekonferensi dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.

Dalam wawancaranya dengan jaringan surat kabar Redaktions Netzwerk Deutschland, Koordinator kerja sama trans-Atlantik pemerintah Jerman, Peter Beyer mengungkapkan kekhawatirannya mengenai perselisihan antara AS dan China. Ia mengkritik kedua belah pihak.

"Kami sedang di awal Perang Dingin 2.0, AS mitra terpenting kami di luar Uni Eropa, dan itu bagaimana kami bertahan," katanya.

Respons Prancis

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai 'teman saya'. Tapi ia menghindari membuat Beijing marah.

Prancis tidak mengamini kritik Trump terhadap cara Beijing menanggulangi pandemi virus corona. Tapi anggota legislatif mendukung pernyataan Menteri Luar Negeri  Jean-Yves Le Drian yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia muslim Uighur.

Dalam pidatonya pekan lalu, Le Drian menyinggung tentang 'penangkapan massal, penghilangan paksa, kerja paksa, sterilisasi paksa, dan penghancuran warisan budaya masyarakat Uighur'. Ia mengatakan Prancis meminta akan kamp-kamp muslim Uighur di Xinjiang ditutup.

"Semua praktik-praktik ini tidak dapat diterima, kami mengecamnya," kata Kementerian Luar Negeri Prancis.

Ambivalensi Trump terhadap sekutu-sekutu AS dan norma-norma diplomatik telah membuat Prancis khawatir.

"Ketegangan Amerika-China tidak menguntungkan Prancis, kami memiliki kepentingan yang sama terhadap China dengan Amerika Serikat, kami mengadopsi posisi yang kurang lebih sama, jadi tidak membawa elemen positif apapun terhadap kami," kata peneliti senior Valerie Niquet  Foundation for Strategic Research.

Respons Eropa

Merkel mengatakan 'hubungan strategis' Eropa dengan China akan dibahas di Uni Eropa ketika Jerman menjabat sebagai ketua blok pada pekan ini.

Menteri-menteri luar negeri anggota Uni Eropa belum menyepakati sikap terhadap China. Mengenai Hong Kong, blok itu akan meningkatkan pengawasan ekspor teknologi sensitif ke wilayah tersebut dan mengubah kebijakan visa bagi warganya. Tapi tidak ada pembahasan mengenai sanksi ekonomi atau yang mengincar pejabat pemerintah China.

"Pesannya adalah aksi yang dilakukan baru-baru ini mengubah peraturan. Hal ini membuat pendekatan kami harus direvisi dan jelas akan berdampak pada hubungan kami," kata pejabat kebijakan Uni Eropa Josep Borrel.  

Respons Korea Selatan

Korea Selatan (Korsel) tergencet di antara sekutu militer terbesar dan mitra perdagangan terbesar. Pada 2016, Beijing menghancurkan bisnis operator pasar swalayan Korsel, Lotte di China setelah konglomerat itu menjual sebidang tanah ke pemerintah yang digunakan untuk sistem pertahanan udara. Isu itu memicu ketegangan antara Korsel dan China.

Washington tidak senang dengan keinginan Korsel melonggarkan sanksi Korea Utara (Korut) dan keengganan Negeri Ginseng dalam isu teknologi Huawei. Trump juga mengeluhkan anggaran 28.500 pasukan AS di Korsel.

Kesepakatan dana patungan pangkalan AS di Korsel itu sudah kadaluarsa pada 2019 dan tidak ada penggantinya. Dalam tajuk rencananya Senin (27/7) kemarin surat kabar Korsel, Dong-A Ilbo menulis perselisihan AS-China 'melemparkan pertanyaan ke mana Korea Selatan' akan berpihak.

"Cepat atau lambat kami dipaksa untuk memberikan jawaban, tidak peduli betapa keras kami mencoba menghindar," tulis redaksi Dong-A Ilbo. 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement