REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Proyek pengerjaan Tempat Pembuangan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut-Nambo belum menemukan kepastian kelanjutan pembangunan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengancam akan memutus kontrak PT Jabar Bersih Lestari (JBL) selaku pemenang lelang melalui mekanisme Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin mendukung keputusan tersebut. Ade mengungkapkan, TPPAS Lulut-Nambo seharusnya sudah dapat dipergunakan oleh empat daerah, yakni Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan.
"Kalo tidak bisa jalan kan tinggal bisa cari calon gantinya lagi," kata Ade di Kabupaten Bogor, Selasa (28/7).
Berdasarkan kesepakatan awal, TPPAS Nambo harusnya beroperasi pada Juli 2020. Waktu itu, pihak yang terlibat, mulai dari Pemprov Jabar, empat daerah, pengembang, hingga masyarakat telah sepakat dalam pembicaraan tersebut.
Namun, pengerjaan itu sempat mandek lantaran PT JBL belum membayar ke PT Dutaraya Dinametro selaku Sub Kontraktor pada akhirnya tahun 2019 dengan nilai Rp 12,3 miliar. PT JBL mencari pendanaan dari investor. Akhirnya, tak lama, PT JBL melakukan penandatanganan kontrak perjanjian investasi dengan Darco Co Ltd Singapore.
Ade menjelaskan, perpanjagan maupun pemutusan kontrak menang menjadi kewenangan Pemprov Jabar. Namun, Pemprov Jabar harusnya segera mencari solusi agar pembangunan TPPAS Lulut-Nambo yang diperkirakan senilai Rp 600 miliar itu dapat diselesaikan. "Itu kewenagan Jabar. Tapi kalo kita, sudah cari gantinya lagi," ucap Ade.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengakui, adanya kemoloran waktu pembayaran yang ditargetkan atau wanprestasi. Ridwan Kamil atau yang akrab disapa Emil itu menyatakan masih memberikan waktu hingga September 2020.
Bila masih belum ada kepastian pembayaran, Emil mengancam akan memutus kontrak tersebut. "Jadi saya juga kecewa, saya kasih batas sampi September, kalo dananya gak turun saya pecat. Kelamaan. Kasian rakyat," jelas Emil.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim juga mendukung langkah yang diambil Pemprov Jabar maupun Pemkab Bogor dalam menangani pengelolaan sampah. Dedie mengatakan, Pemkot Bogor belum memusatkan konsentrasi pada TPPAS Lulut-Nambo.
Dedie menjelaskan, alasannya untuk tidak terlibat jauh dalam persoalan TPPAS Lulut-Nambo. Sebab, jika proses pengerjaan TPPAS Lulut-Nambo selsai, hanya membebani anggaran Pemkot Bogor.
"Kita dari awal sudah sampaikan, kita belum mengharukan dana untuk tipping fee (bantuan biaya pengolahan sampah)," ungkap Dedie.
Berdasarkan perjanjian dengan Pemprov Jabar, setiap daerah yang membuang sampah ke TPPAS Lulut-Nambo akan dikenakan tipping fee sebesar Rp 225 ribu per ton. Sementara, jumlah produksi sampah di Kota Bogor mencapai 600 ton per hari. Sehingga, Pemkot Bogor setidaknya harus menyiapkan anggaran sebesar Rp 135 juta per hari.
"Artinya setahun berapa puluh miliar yang harus kita cadangkan, kalo kita misalnya memproses sampah ke Lulut-Nambo," jelas Dedie.
Selain beban tipping fee, Dedie mengutarakan, Pemkot Bogor harus menyiapkan sejumlah sarana dan prasarana. Di antaranya armada truk pengangkut sampah dan Stasiun Sampah.
Saat ini, Dedie menjelaskan, pihaknya memiliki 120 armada truk sedang atau truk typer yang dipergunakan untuk mengangkut sampah di Kota Bogor. Namun, jika nantinya harus membuang sampah ke TPPAS Lulut-Nambo, pihaknya harus menyiapkan sekitar 60 truk besar jenis compactor truck.
Dedie menaksir, harga compactor truck senilai Rp 1 miliar per unit. Demikian, Pemkot Bogor setidaknya harus menganggarkan Rp 60 miliar untuk membeli truk tersebut.
Karena itu, Dedie menyatakan pihaknya mencoba berkoordinasi dengan Pemkab Bogor untuk memanfaatkan dan mengembangkan Tempat Penampungan Akhir (TPA) Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dedie menyebut, pihaknya telah merencanakan untuk membuat zona inkubator bisnis pengelolaan sampah.
Di TPA Galuga, Pemkot Bogor memiliki lahan seluas 36 hektare. Sementara,yang dipergunakan untuk TPA hanya seluas 15 hektare. Dengan adanya zona inkubator bisnis tersebut, Pemkot akan memanfaatkan delapan sampai 10 hektare lahannya.
"Tapi kita akan membatasi sampah itu cukup 15 hektare. 10 hektare diantaranya untuk zona inkubator pengelolaan sampah Kota dan kabupaten Bogor, sisanya (lahannya) buffer zone (lahan yang dibiarkan)," ujarnya.