REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Hari-hari ini, di kalangan masyarakat, dikenal dan dilaksanakan tiga macam puasa. Pertama. Puasa Zulhijjah, puasa yang dilaksanakan sejak 1-7 Zulhijjah. Kedua, puasa Tarwiyah, puasa yang dilaksanakan pada 8 Zulhijjah. Ketiga, puasa Arafah, puasa yang dilaksanakan pada 9 Zulhijjah. Bagi yang melaksanakan ketiga puasa ini, insya Allah berlimpah berkah.
Sebagai catatan, ketiga puasa ini dilaksanakan bagi mereka yang tidak sedang beribadah haji ke Baitullah. Hari-hari ini, ketika prosesi ibadah haji sedang berlangsung adalah saat-saat yang sangat berat bagi jamaah haji. Karena itu berpuasa pada hari-hari ini merupakan bagian dari “solidaritas”, di samping mendapatkan pahala tersendiri yang sangat fantastik.
Nabi SAW memberi tahu, “Barangsiapa yang tidak melakukan ibadah haji, maka ia disunahkan untuk berpuasa pada hari Tarwiyah, yaitu hari kedelapan Zulhijjah dimana ia akan memperoleh kebaikan dari Allah berupa pengampunan dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Bukhari). Sungguh, ini jadi motivasi besar bagi para ahli ibadah yang mengejar ridha-Nya.
Secara etimologi, kata “Tarwiyah” merupakan bentuk nomina dari verba dalam bahasa Arab “rawwa-yurawwi-tarwiyah” yang berarti perenungan. Secara terminologi, Tarwiyah adalah puasa yang dilaksanakan oleh kaum muslim pada 8 Zulhijjah setiap tahun yang dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam dengan mengikuti ketentuan puasa pada umumnya.
Secara sosio-historis, puasa Tarwiyah dilaksanakan terkait dengan perenungan Nabi Ibrahim soal perintah Allah SWT dalam mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail. Nabi Ibrahim merenungkan atau memikirkan perintah ini, bagaimana menyampaikannya kepada Nabi Ismail dan bagaimana juga cara untuk melaksanakan perintah yang sangat berat tersebut.
Kondisi psikologis ini direkam dalam Alquran, “Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. al-Shafat/37: 102).
Sebagai refleksi historis, tak berlebihan kalau puasa Tarwiyah didawamkan untuk turut merasakan kondisi kebatinan yang dirasakan oleh Nabi Ibrahim yang harus menyembelih putera kesayangan satu-satunya. Padahal Nabi Ismail adalah anak yang diharapkan kelahirannya sejak masa yang lama. Karena Nabi Ibrahim tidak kunjung juga diberikan keturunan.
Pada saat Nabi Ismail sedang menginjak usia 14 tahun perintah itu datang. Dalam bahasa Alquran, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim.” (QS. al-Shafat/37: 102). Siapapun merasa berat mendapat perintah seperti ini. Maka puasa Tarwiyah hari ini bisa dibaca sebagai puasa “solidaritas” terhadap Nabi Ibrahim.
Saat perintah itu datang dicatat dalam sejarah, Nabi Ibrahim menjelang berusia 100 tahun, artinya kecil kemungkinan beliau akan mendapat keturunan sebagai pengganti Ibrahim. Namun saat dikomuniksikan kepada Nabi Ismail, ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadam.” (QS. al-Shafat/37: 102). Inilah kepatuhan Nabi Ismail.
Sejak masa yang lama, puasa diyakini sebagai ibadah yang besar pahalanya. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari Muslim). Semoga dengan berpuasa hari ini, kita mendapatkan janji Allah SWT itu nanti.