REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi keterangan dari tiga saksi mengenai kebun kelapa sawit milik tersangka mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (NHD).
"Penyidik mengonfirmasi keterangan para saksi tersebut terkait dengan dugaan kepemilikan kebun kelapa sawit milik tersangka NHD," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangannya di Jakarta, Rabu (29/7).
Penyidik KPK, Selasa (28/7) memeriksa tiga saksi, yaitu Sekretaris Pengadilan Tinggi (PT) Agama Medan Hilman Lubis, Bahrain Lubis berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dan Musa Daulae selaku notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Mereka diperiksa dalam penyidikan kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA untuk tersangka Nurhadi.
Sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru Foundation telah menyurati KPK mendesak lembaga antirasuah itu menyelidiki dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan Nurhadi. Berdasarkan data yang dihimpun ICW dan Lokataru selama ini menunjukkan Nurhadi diduga memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tidak berbanding lurus dengan penghasilan resminya sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi.
Setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi, di antaranya tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah, empat lahan usaha kelapa sawit, delapan badan hukum baik dalam bentuk PT maupun UD, 12 mobil mewah, dan 12 jam tangan mewah. Selain Nurhadi, KPK pada 16 Desember 2019 juga telah menetapkan Rezky Herbiyono (RHE) swasta atau menantu Nurhadi dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) sebagai tersangka.
Tiga tersangka tersebut juga telah dimasukkan dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Februari 2020. Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di Jakarta Selatan, Senin (1/6), sedangkan tersangka Hiendra masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Adapun penerimaan suap tersebut terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.