REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Menteri Energi Filipina Alfonso Cusi menyatakan pemerintah telah mengambil langkah besar untuk memanfaatkan tenaga nuklir, Rabu (29/7). Keputusan tersebut diambil setelah Presiden Rodrigo Duterte membentuk panel antar-lembaga untuk mempelajari penerapan kebijakan energi nuklir secara nasional.
Ketika permintaan listrik melonjak selama bertahun-tahun, Cusi menganjurkan penggunaan tenaga nuklir untuk mengisi pasokan listrik. Meskipun, keputusan ini dibarengi dengan adanya kekhawatiran publik atas keselamatan keberadaan reaktor nuklir di negara yang sering dilanda bencana alam itu.
Tenaga nuklir dipandang sebagai jawaban potensial untuk masalah atas pasokan tidak tetap dan biaya listrik tertinggi di Asia Tenggara. Namun, Duterte belum menyatakan dukungan penuh untuk proposal Cusi atas pengembangan nuklir tersebut.
Namun dalam perintah eksekutif 24 Juli dan dipublikasikan pada Rabu, Duterte membentuk sebuah komite untuk melakukan penelitian. Langkah ini mengindikasikan keterbukaan untuk menghidupkan kembali ambisi energi nuklir di negara itu.
Cusi menyambut baik langkah Duterte sebagai langkah besar menuju realisasi program energi nuklir Filipina yang akan membantu melindungi konsumen dari volatilitas harga yang saat ini terjadi. Komite akan menilai kelayakan penambahan nuklir pembaruan sumber daya Filipina, dengan mempertimbangkan implikasi ekonomi, keamanan, dan lingkungan.
Filipina menghabiskan 2,3 miliar dolar AS untuk membangun satu-satunya fasilitas tenaga nuklir Asia Tenggara. Namun, reaktor tersebut sama sekali belum pernah digunakan.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bataan 621-megawatt selesai pada tahun 1984. Namun, mengalami penonaktifan setelah bencana Chernobyl di Uni Soviet yang menghancurkan dan runtuhnya kediktatoran Ferdinand Marcos, yang memerintahkan pembangunannya.
Jika rencana penggunaan nuklir untuk pasokan listrik terus berjalan, itu bisa mendorong pembangunan fasilitas baru atau rehabilitasi pabrik Bataan. Upaya sebelumnya untuk mengejar energi nuklir telah gagal karena masalah keamanan dan hubungannya dengan Marcos dan era darurat militernya yang brutal.
Meskipun tidak memiliki kebijakan nuklir, Filipina telah melakukan pembicaraan dengan perusahaan atom Rusia, Rosatom. Pembicaraan ini membahas tentang studi kelayakan untuk menempatkan pembangkit nuklir kecil di daerah-daerah yang jauh.