REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meninjau ulang Program Organisasi Penggerak (POP) dan menggunakan dananya untuk siswa dan guru yang membutuhkan di tengah pandemi Covid-19. "Kami memohon dengan sangat lebih baik dana yang ratusan miliar ini direalokasikan untuk membantu anak-anak dan guru honorer," kata Satriwan dalam diskusi virtual tentang POP yang dipantau dari Jakarta, Rabu (29/7).
Menurut dia, banyak anak-anak dan guru yang membutuhkan dana tersebut untuk melakukan pembelajaran jarak jauh di kala pandemi. Dia memberi contoh bagaimana guru honorer dengan pendapatan yang tidak seberapa harus merogoh kantong untuk membeli paket data yang dibelikan untuk mengajar.
Fenomena itu terjadi, tegasnya, karena tidak semua sekolah berani mengeluarkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) meskipun Kemendikbud sudah memberikan relaksasi untuk membeli data internet.
"Jadi banyak yang sekarang sedang terkendala, jadi kami meminta simpati dan empati dari kawan-kawan semua yang sudah dapat (POP), termasuk kepada pemerintah, untuk fokus membantu anak dan guru selama pembelajaran jarak jauh," kata Satriwan.
Selain itu, FSGI juga meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim melakukan diskusi publik terkait POP dan program induknya Merdeka Belajar. Hal itu dilakukan agar pendapat dari berbagai aktor pendidikan dapat menjadi pertimbangan kebijakan Kemendikbud dan memperbaiki jika memang masih ada kekurangan.
POP adalah program dari Kemendikbud yang diharapkan dalam membantu menginisiasi Sekolah Penggerak dengan memberikan bantuan yang terbagi dalam tiga kategori yaitu Gajah dengan besaran bantuan Rp 20 miliar per tahun, Macan dengan Rp 5 miliar per tahun dan Kijang dengan Rp 1 miliar per tahun. Program itu mendapatkan sorotan setelah tiga organisasi yaitu Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat (Dikdasmen PP) Muhammadiyah, LP Maarif Nahdlatul Ulama dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan mundur dari POP.