REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Abituren 1956 hingga 1961, semuanya korps Zeni. Abituren 1962 hingga 1964, selain korps Zeni, juga korps Perhubungan (Teknik Elektro) dan korps Peralatan (Teknik Mesin). Abituren Akmil 1960 sebanyak 91 orang; abituren 1961 sebanyak 144 orang. Sedangkan abituren 1962 berjumlah 148 orang; abituren 1963 melahirkan 119 orang; dan abituren 1964 menghasilkan 107 orang. Mereka dilantik oleh Presiden Sukarno bersama lulusan Akmil Magelang.
Berdasarkan data Bumi Panorama, walau lulusannya sedikit, namun abituren 1956 hingga 1959, sekitar 50-60 persen berhasil menjadi perwira tinggi. Mereka digembleng selama empat tahun dalam kawah candradimuka di Bandung, Jawa Barat. Kampusnya disebut Bumi Parorama.
Tak jarang mereka melakukan latihan praktik lapangan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Misalnya membuat jembatan yang menyeberangi Sungai Citarum, latihan demolisi bawah air, scuba zeni, destruksi, maupun konstruksi tempur, serta penjinakan ranjau darat.
Mereka akrab dengan Sungai Citarum. Kerap meminum air sungai tersebut selama melakukan latihan-latihan. Era itu pada 1952-1959, tentu Citarum berbeda dengan kondisi tahun 2000-an. Sungai kebanggaan masyarakat Jawa Barat itu, sejak 2007 mendapat julukan dari Bank Dunia sebagai sungai terjorok di dunia. Sebuah sebutan sarkasme dari lembaga dunia tersebut dan memukul bangsa Indonesia. Tapi itulah bukti hasil penelitian. Lautan sampah dan limbah kimianya melewati ambang batas normal.
Kini Kodam III/Siliwangi menjadi garda depan projek nasional Program Citarum Harum. Proyek yang mendapat payug hukum dari pemerintah pusat berupa Peraturan Presiden Nomor 15 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Proyek ini diharapkan selesai pada 2024-2025 mendatang.
Empat jenderal alumni Akmil Bandung itu, saat menjadi Panglima Kodam Sriwijaya, mau tidak mau harus 'akrab' dengan Sungai Musi. Sungai kebanggaan masyarakat Sumatra Selatan. Selama delapan tahun mereka selalu melintasi dan mengarungi sungai dengan ciri khas ikan belida.
Sayangnya, ikan belida itu sekarang langka. Bahkan terancam punah. Ikan belida Sumatra (Chitala hypselonotus), orang Palembang menyebutnya belido, merupakan ikon Kota Palembang. Patungnya berdiri di Plasa Benteng Kuto Besak. Benteng bekas bangunan keraton Kesultanan Palembang pada abad ke 18.
Ikon legendaris bersejarah Kota Palembang, apalagi kalau bukan Jembatan Ampera. Jembatan yang dibangun pada 1962 dari hasil pampasan perang Jepang. Dibangun oleh insinyur Jepang yang dikawal dan dibantu oleh pasukan TNI Angkatan Darat. Siapa lagi kalau bukan dari Yonzikon 12 dan Yonzipur 2 Kodam Sriwijaya. Di satu sisi mereka harus mengawal pembangunan jembatan bersejarah itu. Di sisi lain, sebagiannya lagi dikirim untuk Operasi Trikora merebut Irian Barat pada 1962-1963.
Jadi Jenderal
Lulusan Akmil Bandung 1956-1959 hampir semuanya berangkat mendukung Operasi Trikora. Mayoritas sebagai komandan peleton dan komandan kompi. Para veteran Trikora inilah yang menjadi Panglima Kodam Sriwijaya selama delapan tahun tersebut. Sebenarnya sebuah 'kecelakaan' dalam usia relatif muda mereka sudah menjadi panglima Kodam. Kala itu panglima Kodam di luar Jawa, berpangkat Brigadir Jenderal TNI.
Saat masa itu pula TNI mempercepat lulusan Akmil Bandung maupun Akmil Magelang untuk segera menjadi perwira tinggi. Hal ini, karena generasi 1945 yang paling muda, akan segera pensiun pada tahun 1980. Maka pada Mei 1979, generasi penerus TNI dari alumni Akmil Bandung dan Akmil Magelang, menjadi panglima Kodam. Dua orang perwakilan, yakni Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Try Sutrisno (Akmil Bandung 1959) dan Brigjen TNI Soegiarto (Akmil Magelang 1960).
Masing-masing sebagai Panglima Kodam Sriwijaya dan Panglima Kodam Hasanuddin. Dua tahun setelah itu, semua panglima Kodam mayoritas dijabat lulusan dua akademi kembar tersebut. Yang unik memang Kodam Sriwijaya. Selama delapan tahun 'dikuasai' Akmil Bandung. Namun tidak urut kacang abituren.
Dimulai dari Brigjen TNI Try Sutrisno (Akmil 1959) pada 4 Mei 1979 hingga 24 Desember 1982. Dilanjutkan Brigjen TNI Arie Bandiyoko (Akmil 1957) pada 24 Desember 1982 hingga 9 Mei 1983. Setelah itu Brigjen Roestandi AM (Akmil 1956) pada 9 Mei 1983 hingga 23 Mei 1985. Kemudian Kodam Sriwijaya ditingkatkan menjadi Kodam tipe A. Mayjen TNI Siswandi (Akmil 1959) pada 23 Mei 1985 hingga 24 Agustus 1987.
Semuanya pensiun terakhir Mayjen TNI, menjadi asisten di Mabesad maupun Mabes ABRI/TNI. Kecuali Try Sutrisno, pensiun Jenderal TNI dengan jabatan militer KSAD dan Panglima ABRI.
Merakalah jenderal alumni Akmil Bandung yang kenyang minum air Citarum. Kemudian delapan tahun mengarungi Sungai Musi. Menikmati alunan gending Sriwijaya. Seperti lirik lagu ciptaan Guruh Sukarnoputra
Di kala ku, merindukan keluhuran dulu kala
Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya
Dalam seni, kunikmatkan lagi zaman bahagia
Kuciptakan kembali dari kandungan Maha Kala