REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Di usianya yang menginjak 100 tahun pada 27 Juli 2020, Gedung Sate tidak hanya menjadi simbol perjuangan dan pemerintahan yang menyimpan nilai-nilai historis Jawa Barat (Jabar), tetapi juga ruang publik yang dapat diakses masyarakat umum.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil dalam Talkshow Virtual bertajuk "Jejak Arsitektur Gedung Sate: Dulu, Kini, Nanti" di Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (29/7), mengatakan, pihaknya sudah mencanangkan Gedung Sate sebagai destinasi wisata dan terbuka untuk umum.
"Gedung Sate akan menjadi destinasi wisata secara resmi. Akan dibuka bertahap. Agar orang tidak hanya menikmati bagian luarnya saja, tapi bisa ke dalam," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil.
Masyarakat umum, kata dia, nantinya dapat melihat kemegahan Aula Barat dan Aula Timur Gedung Sate. Atau menyusuri puncak Gedung Sate dan melihat Gunung Tangkuban Parahu. Hanya ruang perkantoran yang tak dapat diakses dengan bebas.
Menurutnya, revitalisasi sejumlah spot di halaman Gedung Sate sudah dilakukan. Salah satunya taman depan dan belakang Gedung Sate. Tujuannya supaya masyarakat dapat menyusuri jejak-jejak historis Jabar sekaligus berwisata.
Emil mengatakan, sebelum revitalisasi dilakukan, pihaknya berkonsultasi lebih dulu dengan Bandung Heritage (Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung). "Ini (revitalisasi) sudah dikonsultasikan dengan Bandung Heritage, sehingga semua aman terkendali," katanya.
Menurut Emil, prinsip place making atau sense of place diterapkan dalam setiap proses revitalisasi. Ada tiga indikator dalam prinsip tersebut. Pertama adalah arsitektur atau ruang. Kedua, aktivitas.
"Ketiganya ada memori positif. Rindu datang lagi. Ciri bangunan yang dicintai itu selalu dirindukan untuk datang lagi. Gedung Sate ini tidak akan pernah bosen dikunjungi. Dari anak-anak sampai orang tua pasti ingin ke sini lagi" paparnya.
Saat ini, kata Emil, pemasangan pilar-pilar yang menggambarkan bahwa Gedung Sate milik warga Jabar sedang dilakukan. Di bawah pilar tersebut, tercantum sejarah kabupaten/kota di Jabar. Pemasangan pilar pun dapat menggerakkan ekonomi Jabar yang sempat terpukul pandemi COVID-19.
"Bagaimana sense Gedung Sate itu rasa Jawa Barat. Tidak melulu rasa Bandung lagi. Ada tiang-tiang. 14 di kiri dan 14 di kanan. Membentuk ruang. Di bawahnya ada logonya kabupaten/kota dan sejarahnya," katanya.
Tak ada acara khusus untuk memperingati 100 Tahun Gedung Sate karena sedang dalam pandemi Covid-19. Kendati begitu, Emil menyatakan, peringatan 100 Tahun Gedung Sate tetap terlaksana dengan merawat, menjaga, dan mencintainya.
"Terus cintai Gedung Sate walaupun 100 tahunnya ditandai dengan COVID-19. Saya alami kebatinannya juga memang situasi kurang menentu. Tapi, tidak mengurangi rasa cinta kita kepada tempat yang sangat membanggakan dan tentu kita terus disempurnakan," katanya.
Nanti, kata dia, setelah Covid-19 terkendali penuh, ia akan mebuka lagi semua spot yang sudah diperbaiki. Sehingga, semua bisa menjadi manusia yang seutuhnya. "Manusia itu tidak hidup di rumah, tapi juga hidup di ruang publik. Hidup di ruang-ruang manusiawi," katanya.
Antropolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Hardian Eko Nurseto mengatakan, taman Gedung Sate merupakan menjadi ruang publik yang dapat memperlihatkan bagaimana interaksi pemerintahan dan masyarakat.
Sebagai simbol pemerintahan, kata dia, Gedung Sate bisa menjadi ruang aspiratif. Masyarakat dapat menyampaikan aspirasi di area depan. Kemudian, Gedung Sate merupakan ruang edukasi.
"Ruang edukasi di mana masyarakat bisa ke sini, tidak hanya belajar tentang sejarah dan arsitektur, bangunan Gedung Sate, tapi juga mempelajari banyak hal," kata Hardian seraya mengatakan, komunitas-komunitas dapat menggunakan taman-taman di Gedung Sate untuk tempat berbagi ilmu.
Menurut Hardian, Gedung Sate menyediakan ruang kreasi, di mana karya-karya komunitas Jabar lahir. Ia mencontohkan bagaimana festival atau pameran di Gedung Sate dapat memicu UMKM Jabar untuk berinovasi.
"Mereka bangga kalau sudah pameran di Gedung Sate. Banyak orang berbondong-bondong berusaha untuk bisa berpameran di Gedung Sate," katanya.
Gedung Sate, kata Hardian, menciptakan ruang rekreasi. Tempat di mana memori masyarakat terbangun. "Kita datang menikmati rumput yang hijau. Di ruang rekreasi ini orang datang untuk berbagai tujuan, seperti olahraga," katanya.
Dari ruang-ruang tersebut, kata dia, kita bisa melihat bagaimana pemerintah bersikap terhadap warganya ataupun sebaliknya. Melihat bagaimana masyarakat bersikap kepada pemerintahnya.
Arsitek sekaligus Penulis Mystery of Art Deco Bandung, Djefry W Dana, mengapreasi langkah Kang Emil. Menurutnya, masyarakat berhak untuk mengakses Gedung Sate.
"Perjalanan peradaban modern Indonesia dan Dunia ada di Gedung Sate. Sehingga tidak heran banyak dikunjungi, bukan hanya wisatawan lokal, wisatawan asing pun terkagum-kagum," kata Djefry.