Jumat 31 Jul 2020 04:31 WIB

Idul Adha, Covid-19 dan Keluarga

Hikman Idul Adha di tengah pandemi Covid-19

Warga menggunakan jasa transportasi kapal kayu yang telah difungsikan menjadi angkutan barang dan penumpang dari Banda Aceh tujuan Pulo (pulau) Aceh di pesisir pantai Selat Malaka, Banda Aceh, Aceh, Kamis (30/7/2020). Mayoritas warga yang mudik untuk merayakan hari raya Idul Adha 1441 H di pulau Aceh memilih angkutan kapal kayu sebagai sarana tranportasi penyeberangan meski pemerintah telah menyediakan kapal roro KMP Papuyu.
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Warga menggunakan jasa transportasi kapal kayu yang telah difungsikan menjadi angkutan barang dan penumpang dari Banda Aceh tujuan Pulo (pulau) Aceh di pesisir pantai Selat Malaka, Banda Aceh, Aceh, Kamis (30/7/2020). Mayoritas warga yang mudik untuk merayakan hari raya Idul Adha 1441 H di pulau Aceh memilih angkutan kapal kayu sebagai sarana tranportasi penyeberangan meski pemerintah telah menyediakan kapal roro KMP Papuyu.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dr. Anwar Mujahidin, Dosen Ilmu Tafsir IAIN Ponorogo

Pandemi Covid-19 yang masih mendera negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia membuat perayaan Idhul Adha 1441 H tanpa suasana yang hingar bingar. Satu bulan sebelum memasuki bulan Dzul Hijjah, biasanya pemerintah dan masyarakat sudah disibukkan dengan pemberangkatan jamaah haji.

Masyarakat dari sabang sampai merauke yang masuk daftar calon jamaah haji, dengan penuh suka cita dan semangat menunggu giliran berangkat ke tanah suci sesuai kloter masing-masing. Sanak kerabat tetangga sahabat juga terut meramaikan suasana dengan aneka tradisi upacara pemberangkatan jamaah haji. Tak lupa semua station tv, radio dan media online maupun cetak hadir dengan liputan khusus haji.

Tahun ini suasana itu menjadi tiada, bahkan shalat Idhul Adha dan acara penyembelihan hewan qurban pun dihantui dengan bayang bayang pengawasan protokol kesehatan.

Krisis baik karena faktor ekonomi maupun pandemi adalah cara alami kebangkitan sebuah peradaban dengan munculnya keseimbangan baru dan norma-norma baru. Suasana sepi karena pandemi dalam perayaan Idhul Adha adalah momentum yang tepat untuk mendapat energy kebangkitan tersebut dengan berefleksi lebih mendalam mengenai esensi idhul adha.

Hakekat Haji dan Qurban selau lekat dengan hijrah keluarga Ibrahim ke Makah. Ibrahim dan keluarganya menempati kedudukan yang spesial dalam Islam setelah nabi Muhamad saw, karena umat Islam dalam setiap pelaksanaan ibadah shalat pada bacaan tahiyat akhir membaca shalawat (doa selamat) untuk Nabi Ibrahim dan keluarganya setelah bershalawat kepada nabi Muhammad saw. Qurban dan sebagian besar manasik haji adalah juga mengikuti jejak keteladanan nabi Ibrahim, isteri dan putranya.  

Dikisahkan bahwa Ibrahim dan istrinya Siti Sarah lama sekali belum memiliki anak. Cintanya kepada suami membuatnya berpikir untuk bisa memberikan seorang anak laki-laki sebagai penerus perjuangan. Maka, ia pun meminta kepada Siti Hajar sang budak, pembantu rumah tangganya untuk menikah dengan suaminya. Ia ingin Siti Hajar bisa memberikan seorang putra kepada Nabi Ibrahim.

Meskipun Sarah merestui pernikahan Ibrahim dengan Hajar,  namun ketika  Hajar melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail, perasaan cemburu sebagai istri tetap tidak bisa dihindari. Ia pun berjanji tidak akan mau tinggal dengan Hajar dan anaknya dalam satu atap. Nabi Ibrahim mendapat petunjuk untuk membawa istri keduanya, Siti Hajar, dan bayinya, Ismail, ke tanah Makkah.

Maka, mereka pun berangkat untuk menempuh perjalanan jauh. Pada waktu itu Makkah masih sangat tandus berupa hamparan padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan. Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan bayinya Ismail di rumah tua (baytul Atiq) yang nantinya dipugar sebagai ka`abah. (Surat Ibrahim: 37)

Setelah Hajar ditinggal berdua di padang tandus, maka mereka  mulai merasakan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup seperti air untuk minum.  Air susunya pun tidak mencukupi untuk bayinya.  Siti Hajar tampak bingung bagaimana mencari air. Dalam kebingungannya ia lari ke atas bukit dan melihat ke bawah. Ia melihat sebuah bukit lain, yang kemudian dikenal dengan Shafa, tampak dekat.

Namun, ia tidak mendapatkan apa-apa. Dari bukit Shafa, ia melihat bukit lain tampak dekat. Bukit itu kemudian dikenal Marwa. Ia pun berjalan menuju ke sana dan tidak mendapatkan bekas-bekas kehidupan. Ia berusaha bolak-balik di antara dua bukit itu sambil melihat bayinya. Dalam usahanya itu, muncullah tiba-tiba sebuah mata air yang memancar. Sumber mata air itu mengalir hingga sekarang yang dikenal dengan zam-zam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement