Oleh KH Masyhuril Khamis
REPUBLIKA.CO.ID, Firman Allah SWT: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab : “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(Q.S. Asshaaffaat [37]:102).
Saudaraku …
Memaknai Idul Adha berarti ada 2 peristiwa besar dan penting yaitu ibadah haji serta ibadah qurban, kedua peristiwa itu hampir tidak bisa dipisahkan bilamana dikaitkan dengan Idul Adha.
Adha bermakna qurban atau udhuliyah, sementara prosesi ibadah haji dimaknai sebagai peristiwa sejarah pengorbanan Ismail AS yang disimbolkan dengan melontar jamaraat di Mina. Pada sisi lain Arafah adalah puncak ibadah haji sebagai rangkaian erat dari Idul Adha itu sendiri. Pelaksanaan ibadah haji tidaklah semata-mata pelaksanaan tapak tilas sejarah Nabi Ibrahim AS, atau sekedar sebuah “perjalanan pariwisata” dengan bungkus ritualistik dan rutinisasi ubudiyah saja. Tetapi hal penting adalah pesan moral dari konsekuensi ibadah itu sendiri, yaitu ibadii horisontal (muamalat) dan ibadii vertikal (habluminallah).
Filosofi haji dapat dilihat sebagai tujuan akhir dari ibadah haji antara lain :
Pertama, dilihat dari pengorbanan besar yang dilakukan Nabi Ibrahim AS atas perintah Allah SWT untuk meng-“eksekusi” puteranya (Q.S. 2: 124) merupakan pengorbanan jihadiyah di dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan bentuk ketaatannya pad perintah Allah SWT.
Kedua, dapat diartikan bahwa haji sebagai reaktualisasi pengorbanan dan jihad, tidak saja mengorbankan harta, pangkat, tahta dan gelar, tetapi juga diperlukan pengorbanan atas sesuatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya.
Beberapa contoh pengorbanan dalam jihadiyah di sini antara lain : meninggalkan anak istri untuk berjuang di medan laga (Q.S. 2:261); tidak terlalu mementingkan keluarga (anak/istri) dalam bingkai nepotisme, koneksiisme, dan primordialisme; tidak memberikan kasih sayang kepada anak secara berlebihan, dan lain sebagainya.
Ketiga, dapat diintrepretasikan bahwa kita harus melawan godaan-godaan (syetan) dalam segala bentuk pada saat kita menegakkan kebenaran dan keadilan (perintah Allah) dan menjauhi semua larangannya. Bahkan dalam waktu yang bersamaan kita pun dituntut pula untuk memerangi godaan tersebut (Q.S. An Naas:1-5), dimana manifestasi perilaku syetan dapat saja berupa perilaku manusia destruktif. Dalam memerangi perilaku destruktif (sifat Fir’aun, sifat Qarun, sifat Bal’am) ini digambarkan pada ibadah melontar jumrah di Mina. Jumratul aqabah, ula dan wustho
Kemudian makna keempat, arti filosofis wukuf di Padang Arafah dianalogikan sebagai rasa kebersamaan dalam kehidupan dimana antar bangsa/kaum di mata Tuhan yang Maha Esa sama derajatnya. Hal yang membedakan antara satu dengan lainnya hanya keluhuran budi (baca:ketaqwaannya). Kendati semua orang yang datang ke Padang Arafah berasal dari berbagai bangsa dan negara, akan tetapi rasa persaudaraan dalam garis silaturahmi (nasionalisme dalam “taman sari” internasionalisme) tetap di atas segalanya. Ini di lain pihak juga membawa efek hablum minannaas yang globalistik.
Saudaraku …
Prinsip ajaran qurban itu mengandung tiga kontekstual : konteks ibadah (vertikal), konteks mu’amalah (horisontal), dan konteks rehabilitasi moral (orthogonal) bagi pequrbannya.
Dimensi-dimensi ini perlu diaktualisasi ketika qurban dilakukan, agar di satu pihak ibadah tersebut tidak terkondisi dalam rutinitas ritual ansich, dan sekedar ajang bagi-bagi daging, dipihak lain.
Konteks vertikal dari qurban, sesuai terminologinya qaruba-yaqrubu-qurban-qurbanan, bermakna mendekatkan diri ( taqarrub ilallah) sebagai proyeksi dari rasa mahabbah dan tho’ah kepada Allah SWT. “Kamu pasti tidak akan sampai kepada ibadah yang sempurna sebelum kamu mampu menginfaqkan sebagian dari harta yang kamu cintai …” (Q.S. Ali Imran:92).
Syari’at qurban sebagai salah satu bentuk ibadah sudah ditanzil (dirujuk) ajarannya sejak Nabi Adam As. Praktisnya ketika dua puteranya, Qabil dan Habil, hendak mempersunting Aqlima sebagai isteri. Allah menerima qurban salah seorang dari mereka (Habil). Sebab domba yang dipersembahkan Habil betul-betul atas dasar mahabbah dan tho’ah serta ikhlas. Sesuai dari arti namanya, hablun yang berarti tali. Demi tidak putusnya tali kasih kepada Allah dia rela mengurbankan apa yang paling dicintainya. Dipersembahkannya domba terbaik dari domba-domba yang dimilikinya (Q.S. Al Maidah:27).
Ketika ajaran qurban itu direaktualisasi kurang lebih 6000 tahun kemudian (pada masa Nabi Ibrahim As), penekannannya juga seputar mengurbankan apa yang dicintai, dalam hal ini perintah mengorbankan anak kandungnya, Ismail, putera tercinta belahan jiwa. Hakikatnya, apakah Ibrahim akan menomorduakan cintanya kepada Allah setelah cintanya kepada anak, isteri dan harta benda miliknya ? Ternyata nabi Allah yang hanif ini, lulus dari ujian berat tersebut. “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan diberikan baginya jalan keluar dari satu kesulitan, dan dikaruniakan jalan rezeki yang tidak disangka-sangka datangnya” (Q.S. Ath Thalaq:2).
Tamsil yang dicontohkan Ismail AS, tatkala mendengar perintah ayahnya untuk menyembelih dirinya merupakan mujahadah yang sangat besar. Betapa ia lebih mementingkan kepentingan Allah daripada kepentingan dirinya. Rasul SAW pernah ditanya oleh sahabat, “Wahai Rasul, jihad apa yang paling besar?” Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu”. (HR. Muttafaq Alaih).
Penggalan percakapan tadi mengindikasikan bahwa hawa nafsu adalah faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Dalam berqurban, anak Adam diajarkan untuk menundukkan nafsu, lebih melihat saudara yang berada di bawahnya. Di sini bermain antara sikap egois dengan sikap sosial. Sebab itu, tidak sembarang manusia yang mampu untuk melaksanakan ritual ini.
Untuk itu pula, dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasul menegaskan, “Siapa memiliki kelapangan uang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia datang ke tempat shalat kami.” Sebaliknya berita gembira bagi mereka yang melaksanakan qurban, Rasul bersabda, “Tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada hari raya Haji selain berkurban. Sesungguhnya orang yang berkurban akan datang pada hari kiamat dengan membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang qurban itu. Dan sesungguhnya darah qurban yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah daripada (darah itu) jatuh ke bumi. Maka, sucikanlah dirimu dengan berkurban” (HR. Al Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ibrah esensial dari perjalanan Ismail dan Ibrahim AS yang masih sangat relevan untuk kita teladani saat ini adalah sikap sabar, taat, dan ikhlas. Gambaran ketiga sikap ini sangatlah jelas tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan putranya untuk melakukan penyembelihan (lihat QS. 37:103). Tetapi, apa yang terjadi, atas kebesaran Allah, Ismail digantikan dengan hewan sembelihan yang besar. Bahkan, kebaikan keduanya diabadikan dan menjadi pelajaran untuk umat berikutnya.
Sifat Jelek Hewan Qurban
Saudaraku…..syarat dalam berqurban adalah menyembelih hewan-hewan yang masuk dalam al-an’am, yaitu unta, sapi, biri-biri atau kambing. Masing-masing hewan ternak ini mempunyai sifat jelek yang terkadang diwarisi manusia, meski penjelmaannya agak solid. Bagus juga kalau dijelaskan satu-satu karakter jelek hewan qurban itu untuk memudahkan perakitan nilai filosofis ketika udhiyah dilaksanakan di hari nahar.
Unta; jeleknya hewan ini baru mau bekerja (aktivitas) setelah dibujuk rayu, misalnya dengan mengelus-elus kepalanya yang ‘nonong’, atau membelai-belai lehernya yang jenjang itu. Setelah dirayu-rayu begini, barulah dia beraktivitas. Sebaliknya, jika dihardik dan dicambuk, unta malah akan duduk dan merajuk. Konotasinya bagi sifat manusia ialah baru mau beramal apabila disanjung-sanjung terlebih dahulu. Sungguh tepat manusia yang beramal ria berqurban unta, biar mati sifat jelek unta pada dirinya.
Sapi/lembu; jeleknya hewan ini paling sedikit ada 2 :
Tidak punya pendirian. Sapi kalau sudah dicucuk hidungnya, diajak kemanapun mau. Ke pasar menarik pedati, ke sawah menarik bajak, diajak ke padang rumput apa lagi, bahkan ditarik ke kamar potong pun oke. Ini konotasi bagi manusia yang plin plan tak punya pendirian yang teguh. Tidak mempunyai sikap istiqamah yang malas menjalankan ibadah. Dan baru beramal ibadah apabila mendapat cobaan dari Allah (guncangan batin).
Tidak punya harga diri. Ini konotasi buat manusia yang sudah kehilangan budaya malu. Rasanya mustahil cita cita kesejahteraan rakyat, membangun karakter bangsa akan terwujud jika warga bangsa ini sudah tidak punya rasa malu lagi.
Biri-biri/kambing; hewan ini terkenal banyak sifat jeleknya, diantaranya :
Takut pada air, konotasinya buat manusia yang takut atau culas dengan air ketika hendak berwudhu di subuh hari.
Tidak punya etika, misalnya saat keluar kandang, suka terburu-buru dan berdesak-desakan. Lihat ketika shalat Jum’at usai, banyak juga yang berdesak-desakan di pintu mesjid saling ingin mendahului. Kurang etis, bukan ? Itulah gunanya qurban kambing, agar sifat kekambing-kambingan itu pupus.
Mudah terpancing untuk berkelahi, dan biasanya perkelahian itu hanya gara-gara masalah sepele. Inilah konotasi buat sejumlah komunitas manusia yang gemar melakukan adudomba hanya karena persoalan-persoalan sekecil gurem.
Gampang emosi, karena darah kambing memang panas. Konotasinya buat manusia yang tidak bisa mengendalikan tensi emosionalnya, seperti dituturkan dalam (Q.S. Ali Imran:134).
Suka neko-neko. Meski tujuannya di halau ke tempat tertentu, tapi kawanan kambing suka belok sana sini. Ini konotasi perilaku manusia yang berkedok amal kebajikan tapi caranya sikut sana sini dan menempuh jalan yang tidak halal. Misalnya berpura-pura ingin menghidupkan mesjid, tidak tahunya ingin hidup dari mesjid.
Suka berburuk sangka. Jangan coba mengangguk-angguk dihadapan kambing, domba jantan terutama, pasti buruk sangkanya yang muncul, dikiranya kita akan mengajaknya berkelahi, dan dia pun segera pasang kuda-kuda. Ini sering diwataki manusia, padahal buruk sangka dalam surah Al Hujarat:12, termasuk perbuatan dosa. Bahkan dosa besar menurut Tafsir al-Khazin, dan mewajibkan pelakunya melakukan taubat.
Saudaraku … alangkah baiknya jika kondisi sifat jelek hewan ini dii’tikadkan( diniatkan) supaya mati bersamaan matinya hewan yang disembelih ketika qurban, derajat ibadahnya akan lebih tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surah al-Mujadilah:11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat”.
Oleh karena mereka yang berqurban bukan saja telah memberikan kontribusi sosial dari ibadah qurbannya, melainkan juga ibadah tersebut telah memberi nuansa bagi perbaikan etika dan moralnya bagi kesempurnaan eksisnya sebagai perpanjangan ‘tangan Tuhan’ di muka bumi ini, sebagai symbol akan keluasan jiwa, kematangan sifat ikhlas dan menifestasi dari berbagi akan Rezeqi yang Allah titipkan sbg amanah yang mesti dipelihara dan disalurkan pada yang ditunjuk untuk itu.
Saudaraku yang dimuliakan Allah
Idul adha hari ini mengingatkan kita akan beberapa hal yaitu :
Bercerminlah pada keluarga Nabi Ibrahim AS, bila seorang Ayah lihatlah kecerdasan dan kesabaran Ibrahim. Bila seorang istri, ikutilah keuletan siti Hajar dan kesabarannya. Bila kita seorang anak bercerminlah akan kepatuhan dan santunnya Ismail terhadap kedua orang tuanya.
Belajarlah untuk lebih pandai bersyukur dengan berupaya melakukan Ibadah Haji meskipun mungkin kita tidak berada di Arafah atau di Madinah, tapi filosofisnya dapat kita implentasikan dalam kehidupan.
BerQurbanlah semampunya, tingkatkan kesholehan sosial kita, saat ini hal itu sangat dibutuhkan, sesungguhnya semangat itu wajib hidup dalam diri kita, jangan sampai justru kita menjadi korban kecanggihan teknologi, korban rusaknya budaya, korban pergaulan yang liberal dan sederetan korban2 lainnya.
Perjalanan hidup masih panjang, usia tidak terduga, karenanya persiapkan diri untuk istiqomah dalam kebenaran, sehingga saatnya kita kembali dalam keadaan husnul khotimah.
Wassalamualaikum