REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka kematian akibat Covid-19 telah menembus 150 ribu dengan empat juta kasus yang dikonfirmasi di Amerika Serikat (AS). Sementara itu, rumor tentang pengobatan efektif masih saja muncul, termasuk tentang hydroxychloroquine (klorokuin).
Para ahli pun kembali mengingatkan agar anjuran pengobatan yang belum terbukti itu dihentikan. Apalagi, studi teranyar telah membuktikan hydroxychloroquine tak efektif untuk Covid-19.
"Tidak ada alasan untuk terus berbicara tentang hydroxychloroquine untuk Covid-19," ujar Dr Carlos del Rio, seorang dokter penyakit menular di Sekolah Kedokteran Universitas Emory kepada NBC News, dilansir Jumat (31/7).
Del Rio mengatakan, hydroxychloroquine sebenarnya tidak berfungsi sebagai perawatan atau untuk pencegahan Covid-19. Dia menegaskan, kendati hydroxychloroquine telah menjadi begitu populer, tetapi itu salah.
Sejumlah uji klinis telah gagal menunjukkan hydroxychloroquine yang aslinya merupakan obat antimalaria itu ampuh untuk Covid-19. Studi lain menemukan hydroxychloroquine justru tidak bermanfaat untuk pasien Covid-19 dengan gejala ringan.
Setelah memperingatkan kemungkinan efek samping berbahaya dari penyalahgunaan hydroxychloroquine, Food and Drug Administration mencabut otorisasi penggunaan daruratnya. Badan itu menyatakan bahwa obat itu tidak efektif terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
"Data ilmiah, data kumulatif pada uji coba, yaitu uji klinis yang diacak dan dikendalikan dengan cara yang benar, semua uji coba itu menunjukkan secara konsisten bahwa hydroxychloroquine tidak efektif," ungkap dokter penyakit menular, Dr Anthony Fauci.
Presiden AS Donald Trump dinilai kerap mempromosilan hydroxychloroquine kepada masyarakat. Bahkan, Trump menyebutkan banyak dokter meyakini konsumsi hydroxychloroquine yang digabungkan dengan seng dan azithromycin ampuh untuk Covid-19.
Politisi lain juga tampak mempromosikan hydroxychloroquine, pekan ini. Representatif Texas Louie Gohmert yang belum lama ini didiagnosis dengan Covid-19, mengatakan bahwa ia menggunakan hydroxychloroquine bersama dengan azithromycin dan seng untuk pengobaran infeksi seperti saran dokternya.
Sementara itu, Badan Farmasi Ohio menarik larangan mengeluarkan hydroxychloroquine untuk perawatan atau pencegahan Covid-19 atas permintaan Gubernur Mike DeWine, seorang politisi partai Republik.
Di sisi lain, Dr Peter Hotez, dekan Fakultas Kedokteran Tropis Nasional di Baylor College of Medicine di Houston, meyakini bahwa upaya Gedung Putih mempromosikan hydroxychloroquine terjadi karena mereka tidak ingin repot atau melakukan kerja keras yang diperlukan guna mengatasi wabah. "Jadi, sebagai gantinya mereka beralih ke solusi magis seperti hydroxychloroquine," kata Hotez kepada NBC News melalui surel.
Menurut Hotez, itu seperti strategi yang lahir dari kemalasan dan ketakutan. Ia menjelaskan bahwa tidak ada obat untuk Covid-19 saat ini, selain anjuran jaga jarak, mencuci tangan, hingga memakai masker.
Dengan 57 ribu pasien yang dirawat di rumah sakit di AS, ada kekhawatiran tentang kekurangan pengobatan yang terbukti, seperti remdesivir. Pada saat yang sama, hydroxychloroquine juga menjadi populer. Direktur Gedung Putih kebijakan perdagangan dan manufaktur, Peter Navarro, mengatakan bahwa persediaan darurat AS adalah jutaan dosis obat.
Dengan sedikit atau tidak ada bukti yang mendukung penggunaan hydroxychloroquine, komisioner FDA Dr Stephen Hahn memperingatkan potensi bahayanya. Namun, pilihan dikembalikan lagi kepada dokter dan pasien.
"Kami memiliki data bahwa ketika obat ini dikombinasikan dengan yang lain, ada beberapa risiko yang terkait dengan itu, tapi adalah keputusan antara dokter dan pasien," ujarnya.