REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pada Januari 2020, Iran dan Amerika Serikat (AS) nyaris terlibat dalam peperangan. Hal itu terjadi setelah AS membunuh mantan komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad, Irak.
Iran kemudian membalas pembunuhan itu dengan melancarkan serangan udara ke pangkalan militer yang menjadi markas pasukan AS di Irak. Puluhan rudal diluncurkan. Serangan itu tak menimbulkan korban jiwa tapi sejumlah pasukan AS terluka.
Sistem rudal adalah bagian penting dari persenjataan militer Iran. Hal itu mengingat terbatasnya kekuatan udara negara tersebut. Pesaing regionalnya seperti Arab Saudi dan Israel memiliki teknologi untuk melakukan serangan udara yang presisi. Iran sebagian besar tidak memiliki kemampuan tersebut dan bergantung pada peluncuran rudal.
Dilaporkan laman BBC pada awal tahun ini, sebuah laporan Departemen Pertahanan AS menggambarkan pasukan rudal Iran sebagai yang terbesar di Timur Tengah. Memang tak mungkin memperoleh data tentang berapa persisnya jumlah rudal yang dimiliki Iran. Namun Centre for Strategic and International Studies yang berbasis di AS menyebut Iran memiliki ribuan rudal dengan jenis mencapai puluhan.
Saat menyerang markas militer AS di Irak misalnya, media lokal menyebut bahwa Iran meluncurkan rudal Fateh dan Qiam. Analisis militer, setelah mengamati gambar dari situs serangan, turut meyakini bahwa rudal jenis tersebut digunakan saat menyerang pasukan AS.
Rudal Qiam-1 telah diproduksi secara luas sejak 2011. Rudal ini memiliki jangkauan 700 kilometer dan muatan (indikasi berapa banyak bahan peledak yang dapat dibawa) sebesar 750 kilogram. Iran menggunakan rudal ini untuk memerangi milisi ISIS pada Juni 2017.
Sementara rudal Fateh pertama kali digunakan pada awal 2000-an. Berbeda dengan Qiam, Fateh memiliki muatan yang sedikit lebih rendah.
Iran juga memiliki rudal balistik jarak menengah bernama Shabab-3. Daya jangkaunya lebih dari 1.500 kilometer dan muatannya melampaui 750 kilogram. Sebagai perbandingan, jet tempur F35 buatan AS memiliki muatan hingga 10 ribu kilogram.
Menurut International Institute for Strategic Studies yang berbasis di Inggris, Iran memiliki hingga 50 peluncur rudal balistik jarak menengah dan 100 peluncur rudal balistik jarak pendek. Royal United Services Institute (Rusi) sempat melaporkan bahwa Iran menunda pengembangan rudal jarak jauhnya setelah bergabung dengan kesepakatan nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Tapi Iran mungkin telah melanjutkan proses pengembangannya mengingat ketidakpastian keberlangsungan JCPOA. Menurut laporan AS, Iran juga tengah menguji teknologi luar angkasa untuk memungkinkannya mengembangkan rudal antar-benua yang lebih lebih panjang.