REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, Djoko Tjandra bisa diberi hukuman baru yang jauh lebih lama dari putusan yang ada sebelumnya. Itu karena tingkahnya selama ini hingga pada akhirnya tertangkap oleh Polri pada Kamis (30/7) malam lalu.
"Joko Tjandra tidak hanya harus menghuni penjara dua tahun," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu melalui akun twitter pribadinya di @mohmahfudmd, dikutip Sabtu (1/8).
Menurut Mahfud, karena tingkahnya, terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar itu bisa diberi hukuman-hukuman baru yang jauh lebih lama. Dia menilai, ada sejumlah dugaan pidana yang bisa dikenakan terhadap Djoko Tjandra.
"Antara lain, penggunaan surat palsu dan penyuapan kepada pejabat yang melindunginya. Pejabat-pejabat yang melindunginya pun harus siap dipidanakan. Kita harus kawal ini," kata Mahfud.
Pada cuitan lainnya di hari yang sama, Mahfud menjelaskan, penyuapan merupakan bagian dari tindakan korupsi. Dia menerangkan, korupsi mencakup tujuh jenis tindakan curang. Jadi, kata dia, jika Djoko Tjandra diduga menyuap, itu berarti ia diduga korupsi
"Korupsi mencakup tujuh jenis tindak lancung, misalnya gratifikasi, penggelapan jabatan, mencuri uang negara dengan mark up atau mark down dana proyek, pemerasan, dan sebagainya. Jadi jika Djoko Tjandra itu diduga menyuap, artinya dia diduga korupsi," kata dia.
Kemarin, Mahfud menjelaskan, pemerintah tidak dapat ikut ambil urusan apabila Djoko Tjandra kembali mengajukan peninjauan kembali (PK) ke pengadilan pascadirinya tertangkap. Dia mengatakan, yang harus dipelototi saat ini adalah proses peradilan di Mahkamah Agung (MA).
"Mungkin saja dalam waktu dekat Djoko Tjandra itu ajukan PK lagi ke pengadilan. Untuk itu, kalau dia sudah ajukan lagi, itu sudah bukan urusan pemerintah," ungkap Mahfud melalui keterangannya, Jumat (31/7) dini hari.
Dia menjelaskan, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan yang berada di ranah yudikatif, yakni di MA. Oleh sebab itu, menurut Mahfud, yang kini harus dipelototi oleh semua pihak ialah proses peradilan di MA. Ia pun berharap pimpinan MA memperhatikan kasus itu secara sungguh-sungguh.
"Itu sudah bukan urusan pemerintah. Bukan urusan presiden, karena pengadilan itu urusan MA. Oleh sebab itu yang harus dipelototi sekarang itu proses peradilan di MA," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Menurut Mahfud, berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), PK Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Di dalam hukum istilah tidak dapat diterima itu berbeda dengan ditolak. Tidak dapat diterima, kata dia, salah satunya berarti permohonan pemohon tidak memenuhi syarat administratif.
Rabu (29/7) lalu, PN Jaksel menetapkan untuk tidak dapat menerima permohonan PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra. Berkas perkara buronan kelas kakap tersebut pun tidak dilanjutkan ke MA.
Diketahui, Djoko Tjandra, buron BLBI yang juga terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar masuk dalam daftar buronan interpol sejak 2009. Kepala tim pemburu koruptor yang dijabat oleh Wakil Jaksa Agung, Darnomo, menyebutkan warga Indonesia itu resmi jadi warga Papua Nugini sejak Juni 2012.
Sejak 2009, dia meninggalkan Indonesia. Saat itu sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya, Djoko berhasil terbang ke PNG dengan pesawat carteran. Di sana Djoko mengubah indentitasnya dengan nama Joe Chan dan memilih berganti kewarganegaraan menjadi penduduk PNG.
Dalam kasusnya, Djoko oleh MA diputus bersalah dan harus dipenjara 2 tahun. Tak hanya itu, ia juga diwajibkan membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk Negara. Belakangan, diketahui sosok Djoko diduga lebih banyak berada di Singapura.