REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi solois yang lagu-lagunya dikenal di banyak negara tidak pernah terbayangkan oleh Bruno Major. Musisi Inggris kelahiran 1988 itu justru mengaku awalnya tidak sengaja terjun dan serius berkecimpung di dunia musik.
"Semuanya benar-benar terjadi tanpa sengaja. Sampai sekarang saya masih merasa tidak percaya saya adalah seniman. Lagu yang saya tulis diproduksi dan dinikmati banyak orang," ungkapnya pada acara "Bruno Major Virtual Meet Up", Kamis lalu.
Major yang berasal dari Northampton pindah ke London pada 2011. Sejak berusia 16 tahun, musisi yang suka mengeksplorasi genre jaz itu menjadi gitaris untuk sejumlah musisi, salah satunya adalah Lalah Hathaway.
Ketika hijrah ke London, Major menyadari bahwa ada hal yang sangat suka dia lakukan selain memainkan instrumen musik. Dia suka menciptakan lagu, dan merasa karya-karyanya cukup bagus. Sayangnya, belum ada yang mau menyanyikan lagunya.
Karena itu, Major menyanyikan sendiri lagu-lagunya, kemudian mengunggahnya ke platform SoundCloud. Dia berharap upaya tersebut bisa membuat orang-orang mengetahui dan mau mendengarkan lagunya. Ternyata, Major mendapat lebih dari itu.
Selang beberapa waktu, Major menerima email dari label rekaman musik yang menyukai lagu-lagunya. Dia sangat terkejut karena niat awalnya adalah menyebarkan lagunya dengan harapan ada penyanyi yang mau membawakannya.
Karier Major terus bergulir hingga saat ini. Dia merilis album mini bertajuk Live pada 2014, berlanjut dengan album penuh perdana A Song for Every Moon pada 2017. Awal Juni 2020, sang musisi memperkenalkan To Let a Good Thing Die.
Album baru itu memuat 10 lagu. Salah satunya, "The Most Beautiful Thing", melibatkan produser Finneas. Menurut Major, proses rekaman semua lagunya amat sederhana. "Gitar, mikrofon, dan interface yang bagus, hanya itu yang saya butuhkan," tuturnya.