REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Legal Culture Institute, M Rizqi Azmi menilai penangkapan, Djoko Tjandra oleh gabungan aparat penegak hukum bersama Kepolisian Diraja Malaysia merupakan penunaian kewajiban yang tertunda dari tahun 2009 oleh aparat penegak hukum Indonesia. Penangkapan pun bisa tercapai tak terlepas dari desakan publik yang sudah resah melihat pelaku korupsi melenggang bebas mengelabui semua orang tanpa adanya upaya yang jelas dalam dekade 11 tahun ini.
"Tidak ada hal yang luar biasa yang dilakukan Polri dan Kejaksaan dalam penangkapan ini dan sudah merupakan hal sewajarnya dalam tugasnya," kata Direktur Legal Culture institute, M Rizqi Azmi dalam pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (2/8).
Terlebih, adanya keterlibatan oknum Polri dalam pemalsuan surat jalan Djoko Tjandra yang kemudian menjadi triger bagi Polri untuk membuktikan diri. Kejaksaan pun harus membuktikan diri setelah kegagalan di tahun 2009 dalam menjalankan proses eksekutorialnya dan lalai dalam mengambil tindakan red notice dalam perjalanan Djoko Tjandra.
Menurut Rizqi Azmi, pembuktian diri ini harus selalu dilakukan Polri dan Kejaksaan untuk membuka secara terang benderang kasus Djoko Tjandra secara transparan dan akuntabel kepada publik. Bahkan, bisa menjadi momen penting yang harus dimanfaatkan Kapolri dan Jaksa Agung membongkar kasus korupsi kelas kakap BLBI dan Bank Bali yang selama ini selalu menemui jalan buntu secara hukum dan politik di DPR.
"Djoko Tjandra adalah salah satu kunci untuk membongkar pelaku-pelaku lainnya dan mengambil kembali aset negara yang telah di rampas dan dicuri oleh white collar crime," tuturnya
Terhadap Djoko Tjandra, Polri dan Kejaksaan Agung harus bertindak tegas dalam eksekusi kasus lama dan penegakan terhadap kasus tindak pidana yang baru saja dilakukannya sebagai residivis. sebagai seseorang koruptor berdasarkan putusan MA 2009 harus menjalani hukumannya yang setimpal.
"Mulai dari segala itikad buruknya sewaktu buron dan kejahatan Baru yang merupakan tindak pidana dalam pemalsuan surat (termasuk penyuapan birokrasi), penipuan, kejahatan lintas negara ditambah dengan pemberatan pidana sebagai residivis sampai dengan permufakatan jahat dengan oknum aparat penegak hukum dan birokrat," ujarnya.
Dikatakannya, secara delik pidana, Djoko Tjandra sebagai koruptor yang melarikan diri dapat diberikan pemberatan hukuman sesuai UU Tipikor. Kemudian dijerat dengan pasal 263 ayat 1 jo pasal 378 KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara dikaitkan dengan pemalsuan dan penipuan berupa penerbitan surat berharga yang dapat menimbulkan kerugian.
Dalam yurisprudensi tetap, perlakuanya di sebut "intelectuele Valsheid" atau pemalsuan secara intelektual yang menimbulkan kerugian bagi kepentingan masyarakat ( Hoge Raad 1941, No 42). Terkait residivis dan itikad buruk yang berkenaan dengan pasal di atas dapat dikenakan juga ketentuan pasal 486 KUHP dengan penambahan sepertiga hukuman terutama terkait kasus tindak pidana baru djoko Tjandra yang belum lewat lima tahun.
Terkait kongkalikong dengan oknum pejabat, kata dia, Djoko Tjandra dapat juga dikenakan pasal 88 dan pasal 55 terkait permufakatan jahat. Dia pun berharap, Polri, Kejaksaan, dan KPK dapat mengurai dan membongkar benang kusut pemberantasan kasus korupsi Bank Bali dan BLBI.