REPUBLIKA.CO.ID, SAPPORO -- Jumlah penduduk asing beragama Muslim yang tinggal di Jepang mengalami peningkatan. Kondisi ini mendapat tantangan baru, khususnya untuk lahan pemakaman.
Ketersediaan lahan untuk pemakaman yang sesuai dengan ajaran Islam masih sangat jarang. Muslim Jepang harus berjuang menanamkan pemahaman tentang perlunya lokasi baru kepada masyarakat setempat, yang lebih banyak melakukan kremasi.
Kurang lebih 200 ribu lebih Muslim tinggal di negara ini. Angka ini kemungkinan akan terus tumbuh, mengingat negara tersebut menerima lebih banyak pekerja asing. Sementara saat ini, hanya ada tujuh lokasi untuk pemakaman Muslim.
"Dibutuhkan uang, waktu, dan upaya untuk dimakamkan di negara asal saya, dan itu tidak realistis," kata seorang pria berusia 57 tahun dari Pakistan yang tinggal di Sapporo, dilansir di Japan Today, Senin (3/8).
Pria itu datang ke Jepang 32 tahun yang lalu. Ia lalu menikah dengan seorang wanita Jepang dan memiliki dua anak.
Asosiasi Muslim Jepang menyebut terdapat kepercayaan akan kebangkitan orang mati. Islam menyatakan, orang-orang yang beriman dikuburkan karena jiwa mereka perlu kembali ke jasad sebelum dibangkitkan.
Departemen Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan Jepang menyebut, pemerintah pusat belum menetapkan peraturan untuk penguburan. Pemerintah kota diberikan kebebasan membuat aturan mereka sendiri terkait beberapa masalah, seperti jarak lokasi dari daerah pemukiman dan sungai. Pada tahun fiskal 2018, lebih dari 99 persen mayat di Jepang dikremasi.
Menurut Japan Islamic Trust, Jepang sama sekali tidak memiliki lahan pemakaman untuk Muslim di wilayah Tohoku timur laut atau di barat wilayah Chugoku. "Jenazah seringkali harus dipindahkan ke kuburan yang jauh, yang dapat merusak jenazah atau mengakibatkan biaya transportasi tinggi," kata Direktur Jenderal Japan Islamic Trust, Qureshi Haroon.
Salah satu dari tujuh situs adalah pemakaman biasa di Hokkaido di kota pantai Yoichi. Tapi, Yoichi Reien hanya menawarkan ruang yang sangat terbatas untuk penguburan. Hanya tersedia empat hingga lima ruang bebas. Kondisi ini membuat Ketua Masyarakat Islam Hokkaido, Towfik Alam, sangat khawatir.
Meski masyarakat telah merencanakan membuat pemakaman di Otaru dengan mengikuti protokol Hokkaido yakni berada setidaknya 110 meter dari daerah perumahan. Sayangnya, proyek itu ditinggalkan musim panas lalu karena gagal mendapatkan dukungan dari penduduk.
"Warga khawatir tentang beberapa hal. Salah satunya, kebersihan penguburan," kata seorang juru bicara kota.
Sementara itu, ada rencana membangun pemakaman bagi umat Islam di Prefektur Oita. Tetapi rencana ini juga menghadapi tekanan balik dari penduduk setempat yang khawatir tentang pencemaran air.
Seorang Profesor kehormatan di Universitas Waseda dengan pengetahuan luas tentang komunitas Muslim Jepang, Hirofumi Tanada, mengatakan mengakomodasi kebutuhan para praktisi, bukan hanya Islam tetapi sejumlah tradisi keagamaan, menjadi penting sejak Jepang mengubah undang-undang imigrasi April lalu yang menerima lebih banyak pekerja asing.
"Masalah tentang penguburan hanyalah satu contoh," katanya.