Senin 03 Aug 2020 11:07 WIB

Tiga Upaya Ulama Menjaga Hadits

Ulama berperan dalam menjaga hadits.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Tiga Upaya Ulama Menjaga Hadits. Foto: Penulisan hadis (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com/a
Tiga Upaya Ulama Menjaga Hadits. Foto: Penulisan hadis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sejak Rasulullah wafat banyak hadits yang dipalsukan untuk kepentingan kelompok mencapai suatu tujuan. Untuk mencegah hadist palsu itu tersebar luas, para ulama melakukan beberapa upaya untuk membedakan antara hadist sahih dan hadist dha'if.

Syekh Manna Al-Qaththan dalam kitabnya Tarikh Tasyri (sejarah legislasi hukum Islam) mengatakan umat Islam patut bangga atas upaya para ulama pada zaman sahabat hingga masa dibukukannya As-Sunnah telah meinventarisir hadist-hadist palsu. Apa jadinya jika mereka tak dibimbing Allah SWT menjaga dari pemalsuan hadist.

Baca Juga

"Maka umat kita berhak untuk bangga atas umat umat yang lain," katanya.

Menurutnya, langkah langkah terpenting yang mereka tempuh dalam merealisasikan hal tersebut dapat dilihat dengan beberapa hal. Pertama selektif dalam menerima sanad hadis.

Syekh Manna mengatakan setelah terjadinya fitnah dan munculnya berbagai kelompok, para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin sangat selektif dalam menukil hadits-hadits.

"Mereka tidak menerimanya kecuali yang mereka ketahui jalur-jalur dan para perawinya, serta yakin akan ketsiqahan dan keadilan mereka," katanya.

Imam muslim telah meriwayatkan dalam mukaddimah "Shahih" nya dari Ibnu Sirin yang berkata, "Ulama dahulu tidak pernah menanyakan tentang sanad, akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata, "Sebutkanlah kepada kami dari siapa kalian mengambil riwayat hadist," lalu melihat kepada Ahlussunnah dan mengambil hadis-hadisnya, serta melihat kepada ahli bid'ah dan meninggalkan hadist-hadistnya."

Imam Az-Zuhri mengatakan "Sanad merupakan bagian dari agama, jika tidak ada sanad maka siapa saja akan mengatakan dalam agama ini sesuai dengan apa yang ia inginkan."

Ibnu Al Mubarok mengatakan, "Perbedaan antara kita dan kaum ahli bid'ah adalah Al-Qawaim (penyangga) yaitu sanad. "Maka dari itu, para tabiin kerap bepergian untuk mencari hadits. Bahkan para Junior sahabat pun bepergian dari negara ke negeri untuk mendengarkan hadits-hadits yang Shahih dan dari para perawi yang 'tsiqah'.

Sa'id bin Al-Musayyab mengatakan, "Sungguh saya melakukan perjalanan beberapa hari dan beberapa malam hanya untuk mencari satu hadits."

Suatu ketika Asy-Sya'bi menyampaikan hadits Nabi SAW kemudian ia mengatakan kepada muridnya, "Ambillah hadits ini secara cuma-cuma, sesungguhnya seseorang harus menempuh perjalanan menuju kota Madinah untuk mendapatkannya. "

Upaya kedua, mengkritik para perawi para ulama telah melakukan penelitian terhadap para perawi serta mempelajari kehidupan mereka sejarah mereka dan riwayat hidup mereka untuk mengetahui keadaan mereka apakah mereka jujur atau dusta. Celaan orang yang sering mencela tidak akan mengganggu mereka dalam ibadah di jalan Allah ini.

Mereka menetapkan beberapa kaidah untuk diikuti dalam ilmu ini, dan untuk menjelaskan siapa perawi yang berhak diambil hadisnya dan siapa yang berhak untuk ditolak. Mereka menetapkan bahwa seluruh sahabat adil dan tidak menisbahkan kedustaan kepada salah seorang pun dari sahabat Nabi SAW.

Imam Al Ghazali mengatakan dalam kitab Al-Mustashfa "Pendapat yang dianut oleh pendahuluan dari umat ini serta mayoritas ulama yang datang setelah mereka, bahwa "adalah' mereka yaitu sahabat-sahabat adalah suatu ketetapan yang merupakan ketetapan Allah atas 'adalah' mereka dan pujian Allah atas mereka di dalam kitab-Nya.

Ini merupakan keyakinan kita tentang mereka, dan mereka tidak membutuhkan untuk diseleksi kembali 'adalah' nya."

Kemudian ini menyebutkan pengakuan sebagian orang dengan mengatakan, "Sekelompok orang telah mengklaim bahwa keadaan mereka seperti keadaan selain mereka yang butuh untuk diseleksi 'adalah' nya'.

Sementara kaum lainnya mengatakan bahwa keadaan mereka awal mulanya adalah dalam sifat 'adalah' sampai munculnya perang dan perselisihan kemudian keadaan mereka berubah, darahpun ditumpahkan.

"Maka harus dicek kembali 'adalah' nya."

Upaya ketiga membuat indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa hadits tersebut palsu, seperti ketidak sesuaian nya dengan penjelasan Alquran atau artinya batil. Hal ini kata Syekh Manna yang dikenal di dalam ilmu Musthalah Al-Hadits dengan istilah 'Al-Jarh' dan At-'Ta'adil'.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement