REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Dian Fath Risalah, Bambang Noroyono, Antara
Buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra sudah berhasil dibawa pulang ke Tanah Air. Penyelidikan seputar Djoko Tjandra namun diharap tidak terhenti.
Setelah lurah, anggota Polri, dan jaksa yang dicopot dari jabatannya akibat membantu Djoko Tjandra, kini giliran pihak imigrasi yang perlu ditelusuri. Pemeriksaan internal di dalam Kemenkum HAM diperlukan sebab Djoko bisa tak terdeteksi masuk ke Indonesia sebelum tertangkap.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendesak Kemenkum HAM segera menginvestigasi oknum dalam internal kementeriannya yang membantu Djoko. Sahroni mengatakan bukan tak mungkin ada oknum yang kemungkinan terlibat dalam pelarian Djoko selama 11 tahun. Untuk itu, tertangkapnya buron tersebut harus dijadikan momentum untuk membersihkan lembaga penegak hukum dari oknum-oknum tersebut.
"Sejatinya ini adalah peluang kita untuk mengungkap semua pihak yang kongkalingkong dalam memberi perlindungan pada Djoko Tjandra," ujar Sahroni.
Direktur Legal Culture Institute M Rizqi Azmi berharap kasus Djoko Tjandra tidak berujung seperti Harun Masiku. Rizqi menilai, kasus Harun Masiku dan Djoko Tjandra merupakan kasus yang mempunyai pola hampir sama.
Kesamaannya yakni actus reus atau tindakan dan mens rea atau niat itikad mengarah kepada lahirnya kerugian negara dan dilakukan secara bersama-sama sehingga lahirlah permufakatan jahat. Sehingga, pengungkapan kasusnya terhambat karena melibatkan lingkaran oknum pejabat negara yang saling bersinggungan dan saling mengunci satu sama lainnya.
Ia mengatakan, kerja keras Polri dalam menangkap buronan Djoko Tjandra harus disemangati. Pemberian semangat dilakukan untuk mengungkap kasus-kasus besar lainnya seperti kasus Harun Masiku yang sampai saat ini masih menjadi misteri.
"Jangan sampai kasus Harun Masiku mengalami hambatan periodesasi seperti Djoko Tjandra yang baru akan terungkap puluhan tahun berikutnya. KPK, Polri dan Kejaksaan harus bekerja sama dan belajar dari kegagalan dan kelalaian masa lampau," kata Rizqi Azmi dalam pesan singkatnya kepada Republika, Ahad (2/8).
Penangkapan Djoko Tjandra harus menjadi pemicu ditemukannya Harun Masiku. Djoko dianggap bisa tertangkap setelah Istana terpicu dan memerintahkan Polri dan kejaksaan.
Karena dalam beberapa riset antikorupsi proses penyidikan sering terhenti pada jalur formal penegak hukum karena conflict of interest atau konflik kepentingan. Sehingga, hutuh waktu lama me-recovery penyelesaian setelah menemukan aparat yang berani membukanya sesuai arahan penguasa yang berkepentingan misalkan dengan adanya desakan publik dan politik.
Dia berharap, agar kasus Harun Masiku jangan sampai memakan korban lingkaran setan seperti kasus Djoko Tjandra. Karena secara indikasi kasus Harun masiku adalah kasus besar yang berbicara tentang oknum deep state dalam suksesi kenegaraan.
"Kalau diibaratkan lebih mendalam dan payung besar bila dibandingkan dengan kasus BLBI. Oleh karenanya publik masih pesimis KPK dan Polri serta Kejaksaan bisa mengungkap kasus Harun Masiku lebih cepat dan ada kemungkinan periodesasinya akan sama atau melewati kasus Djoko Tjandra. Semoga saja anak cucu kita kedepan tidak mengenal Harun Masiku di masa depan," katanya.
Pada Kamis (30/7) Djoko Tjandra sudah berhasil ditangkap tim Bareskrim Polri. Sehari setelahnya, Jumat (31/7), Bareskrim Polri pun menyerahkan buronan korupsi Bank Bali itu ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta untuk ditahan di Rutan Salemba.
Hingga hari ini, Senin (3/8), belum ada kabar tentang pemeriksaan dan klarifikasi terhadap Djoko Tjandra terkait dengan jaksa Pinangki. Kepuspenkum Hari Setiyono saat ditanya tentang kapan Kejakgung memeriksa dan mengklarifikasi pertemuan jaksa Pinangki dengan Djoko Tjandra belum memberikan jawaban.
Hari ini Komisi Kejaksaan melayangkan surat pemanggilan kedua terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari, Senin (3/8). Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, pemanggilan kedua tersebut dilakukan setelah Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung tersebut, mangkir saat pemanggilan pertama, Kamis (30/7).
Barita menerangkan, rangkaian pemanggilan tersebut sebagai respons untuk memeriksa jaksa Pinangki. Jaksa Pinangki, terlibat pelanggaran kode etik dan disiplin dalam skandal Djoko Tjandra. “Kami tetap akan meminta penjelasan dan keterangan dari terlapor, soal pertemuan dengan terpidana Djoko Tjandra,” kata Barita lewat pesan singkatnya, Senin (3/8).
Pemeriksaan kedua terhadap jaksa Pinangki, kata Barita terjadwal pada Rabu (5/8) mendatang. Rencana pemeriksaan, kata Barita, masih menyangkut soal kapan jaksa Pinangki bertemu dengan Djoko Tjandra, di mana, dan atas perintah siapa. Kata Barita, pemeriksaan yang dilakukan Komisi Kejaksaan sebetulnya masih terkait dengan pelaporan sejumlah lembaga swadaya masyrakat yang menuding adanya keterlibatan Jaksa Pinangki, dalam skandal Djoko Tjandra.
Jaksa Pinangki pekan lalu sudah diperiksa oleh tim Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) di Kejakgung. Hasil pemeriksaan memutuskan pencopotan jabatan jaksa Pinangki selaku Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejakgung.
Jaksa Pinangki dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran berat kode etik dan disiplin pegawai kejaksaan lantaran ketahuan bepergian ke luar negeri tanpa izin atasan ke Singapura, dan Malaysia sepanjang 2019. Ia diperkirakan bertemu Djoko sebanyak sembilan kali di luar negeri.
Jamwas mengatakan rangkaian dinas luar negeri tersebut ilegal. Keyakinan Jamwas adanya pertemuan antara Jaksa Pinangki dengan Djoko Tjandra didasari pengakuan pengacara Anita Kolopaking yang ikut diperiksa oleh Jamwas.
Menkopolhukam Mahfud MD memerintahkan agar Kejakgung melanjutkan pemeriksaan terhadap Jaksa Pinangki ke proses pemidanaan. Mahfud MD meyakini, peran oknum kejaksaan itu terang, dalam praktik melawan hukum dengan menemui buronan institusinya sendiri.
“Si Pinangki itu tidak cukup hanya dicopot (dari jabatannya). Tetapi, juga segera diproses pidananya,” kata Mahfud, Sabtu (1/8).
Mahfud MD lewat cicitannya di Twitter menegaskan siapa saja pejabat yang selama ini melindungi terpidana Djoko Tjandra harus siap dipidanakan. "Djoko Tjandra tidak hanya harus menghuni penjara dua tahun. Karena tingkahnya, dia bisa diberi hukuman-hukuman baru yang jauh lebih lama," cicit mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pada Sabtu (1/8).
Selain korupsi, Mahfud kemudian menyebutkan tindak pidana yang dilakukan Djoko Tjandra, antara lain penggunaan surat palsu dan penyuapan kepada pejabat yang melindunginya. "Pejabat-pejabat yang melindunginya pun harus siap dipidanakan. Kita harus kawal ini," ujar Mahfud dalam cicitannya.