REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Garda Revolusi memang kekuatan yang paling berpengaruh di Iran. Tapi dalam beberapa tahun terakhir Pasukan Al-Quds yang bertanggung jawab atas operasi Garda Revolusi di luar negeri mungkin menjadi entitas mereka yang paling terkenal .
Dilansir BBC, Iran telah mengakui keterlibatan pasukan Al-Quds dalam konflik Suriah. Mereka menjadi konsultan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan milisi muslim Syiah yang bertempur bersama mereka. Pasukan itu juga memberi saran pada paramiliter Syiah di Irak yang bertempur melawan ISIS.
Konflik-konflik tersebut mengubah Mayor Jenderal Qassem Soleimani yang sebelum tertutup menjadi selebritas di Iran. Pemerintah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuduh Pasukan Al-Quds adalah 'mekanisme utama Iran dalam mendukung dan mengembangkan' kelompok-kelompok yang Washington anggap sebagai organisasi teroris.
Termasuk di dalamnya gerakan Hizbullah di Lebanon dan Gerakan Jihad Islam Palestina. AS menuduh Pasukan Al-Quds menyediakan dana, pelatihan, senjata, dan peralatan pada dua kelompok tersebut.
Washington mengatakan Pasukan Al-Quds juga merencanakan atau menggelar serangan teroris di lima dari tujuh benua di seluruh dunia baik secara langsung maupun melalui proksi mereka. Pada 2011, Pasukan Al-Quds diduga terlibat dalam rencana pembunuhan Duta Besar Arab Saudi untuk AS dengan mengebom restoran di Georgetown.
Tahun lalu pengadilan Jerman memvonis anggota Pasukan Al-Quds yang melakukan operasi spionase terhadap mantan kepala kelompok Jerman-Israel dan orang-orang di dekatnya. Tuduhan-tuduhan tersebut akhirnya mendorong AS menetapkan Garda Revolusi Iran sebagai 'organisasi teroris asing'pada 2019 silam. Keputusan ini membuat Garda Revolusi Iran menjadi kekuatan militer pertama yang dinyatakan sebagai kelompok teroris.
Saat itu AS sudah memberlakukan sanksi-sanksi terhadap sektor perminyakan Iran dan memperlemah perekonomian mereka. Iran mulai melancarkan kampanye balasan.
Pada Juni 2019 pasukan Garda Revolusi menembak jatuh pesawat tanpa awak AS yang terbang di Selat Hormuz. Di bulan yang sama pasukan itu juga menyita kapal tanker berbendera Inggris.
AS juga menuduh Iran menjadi dalang rangkaian peledakan dan perusakan enam kapal tanker yang berlayar di Teluk Oman pada Mei dan Juni. Menurut Washington, serangan rudal yang merusak fasilitas minyak Arab Saudi pada September tahun lalu juga dilakukan oleh Iran.
AS berpendapat Iran melepaskan tembakan ke pangkalan militer Irak yang digunakan pasukan AS pada 27 Desember. Iran menyangkal terlibat dalam serangan yang menewaskan seorang kontraktor Amerika tersebut. Serangan roket itu meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran.
Pada 29 Desember, AS menggelar serangan udara ke lima pangkalan militer di Irak dan Suriah yang memiliki koneksi dengan milisi yang didukung oleh Irak, Kataib Hezbollah. Milisi tersebut diyakini kelompok yang menembakkan roket.
Serangan itu menewaskan 25 pasukan milisi dan memicu unjuk rasa di luar Kedutaan Besar AS di Baghdad. Lima hari kemudian pesawat tanpa awak Reaper AS melepaskan tembakan ke sebuah barisan kendaraan yang baru keluar dari bandara internasional. Serangan itu menewaskan Jenderal Qassem Soleimani dan sejumlah pemimpin milisi termasuk ketua Kataib Hezbollah Abu Mahdi al-Muhandis.