Senin 03 Aug 2020 15:55 WIB

Menghakimi Bahasa: Kisah Pemberedelan Media Zaman Belanda

Sayuti Melik pernah disidang karena tulisan di majalan Pesat yang dipimpinnya.

Sayuti Melik dan istrinya SK Trimurti
Foto: Tangkapan Layar
Sayuti Melik dan istrinya SK Trimurti

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Sayuti Melik pernah disidang. Ia ditanya arti kata dan kalimat di tulisan yang diturunkan di majalah Pesat, Semarang. Sayuti saat itu menjadi pemimpin redaksi Pesat, menurunkan tulisan Di Bawah Tapak Kaki Iboe, karya Sribiantara, nama samaran, pada 13 Januari 1940.

Tg. 26 Februari 1940: Hoofdred. Pesat, rekan M.I. Sajoeti, dibawa ke kantoor P.I.D. dan teroes ditahan. Pesat 13 Jan. 1940 dibeslag semoea. Demikian bunyi berita di Pemandangan edisi 17 Juni 1940. MI di depan nama Sayuti adalah Mohammad Ibnoe.

Rancangan peraturan pers dari pemerintah disetujui Volksraad (pengadilan) pada awal September 1931 lewat pemungutan suara dengan 32 suara mendukung dan 23 suara menolak. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menandatanganinya pada 7 September 1931. Ini menjadi kado 25 tahun kebebasan pers di Hindia Belanda, peraturan yang baru dibatalkan oleh Presiden Sukarno atas persetujuan DPR melalui UU No 23 Tahun 1954.

Selama 25 tahun itu, pemberedelan pers dilakukan lewat pengadilan. Pada 1913, misalnya, De Expres menurunkan tulisan Soewardi Soerjaningrat yang sebelumnya telah diterbitkan dalam bentuk brosur oleh Komite Boemi Poetera. Douwes Dekker selaku pemimpin redaksi ditangkap dan dibuang ke Belanda, tetapi De Expres tak diberedel.

Namun, pemerintah menganggap hakim tidak kompeten untuk memutus perkara delik pers sehingga penanganannya diambil alih pemerintah per 1931. Pemandangan menjadi salah satu contoh koran yang langsung diberedel tanpa lewat pengadilan, pada 27 Mei 1940, ketika Sayuti Melik masih dalam pemeriksaan kasus Pesat. Tanpa diberedel, begitu Sayuti Melik ditahan, otomatis Pesat juga tidak bisa terbit karena keredaksian dan pendistribusian Pesat ditangani sendiri oleh Sayuti dan istrinya, SK Trimurti.

Ditangkap 26 Februari 1940, sidang Sayuti baru dimulai 11 Juni 1940. Pemerintah kolonial tak terima dengan isi tulisan Di bawah Tapak Kaki Ibu yang dimuat di rubrik Mimbar Filsafat. Di persidangan, Sayuti ditanya apa makna setiap kata yang ada di tulisan itu. Apa makna ibu, anak, orang, dan harta pusaka?

Tentang hal yang dimaksudkan di tulisan, pertanyaan yang diajukan kepada Sayuti adalah: Apakah kamoe ta' berpendapatan, bahasa karangan itu poenja maksud (strekking) menganjoerkan, merobohkan kekoeasaan didalam negeri ini? Sayuti dituduh melanggar pasal 153bis dan 153ter KHUP (Strafwetboek). Pasal itu berkaitan dengan kegiatan merusak ketertiban umum dan kekuasaan pemerintah melalui kata-kata, tulisan, atau gambar, baik dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung.

Sidang dipimpin oleh Mr Cohen dengan jaksa RM Soeprapto:

Pres.: Menoeroet pikiran kamoe siapakah iboe itoe, dan apakah artinja anak dalam artikel terseboet?

Terd.: Itoe artikel adalah satoe stelling filsafat (Philosophie). Djadi ta'boleh ditoedjoekan pada satoe badan atau orang, bahkan pada oemoem.

Tak mendapatkan jawaban memuaskan, ketua sidang mencoba mengarahkan jawaban pada pertanyaan berikutnya:

Pres.: Kamoe toch djadi Hoofdred.Djadi tahoe poela maksoed isi karangan yang kau soeroeh pasang. Apa iboetak berarti Hindia Belanda dan anakorang-orang Boemipoetera?

Terd.: Boleh diartikan begitoe. Tapi menoeroet penjelidikan saja, ta'begitoe. Iboe disini boekan tanah Indonesia, sebab: keadaan pada ini waktoe ta' tjotjok dengan isi toelisan tadi. Boleh dibelakang nanti saja djelaskan lagi, bila perloe.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement