Senin 03 Aug 2020 16:38 WIB

Juli Alami Deflasi, Ekonom: Daya Beli Memang Turun

Permintaan saat hari raya tak seramai tahun lalu, jadi indikator turunnya daya beli.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung belanja menggunakan kantong ramah lingkungan di Pasar Tebet Barat, Jakarta, Jumat (17/7). Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, mengatakan, rendahnya laju inflasi bahkan hingga deflasi dipicu akibat daya beli masyarakat Indonesia yang tengah jauh melemah.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung belanja menggunakan kantong ramah lingkungan di Pasar Tebet Barat, Jakarta, Jumat (17/7). Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, mengatakan, rendahnya laju inflasi bahkan hingga deflasi dipicu akibat daya beli masyarakat Indonesia yang tengah jauh melemah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, mengatakan, rendahnya laju inflasi bahkan hingga deflasi dipicu akibat daya beli masyarakat Indonesia yang tengah jauh melemah. Sementara, program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dinilai belum efektif.

"Daya beli masyarakat memang turun drastis dibanding tahun lalu. Saya kira ini yang penting menjadi catatan bagi pemerintah," kata Tauhid kepada Republika.co.id, Senin (3/8).

Baca Juga

Ia mengatakan, dibanding dengan situasi tahun lalu, tahun 2020 amat berbeda karena rendahnya konsumsi. Hal itu membuat harga-harga menjadi lebih rendah karena permintaannya yang lesu.

Permintaan barang dan jasa pada momen Ramadhan dan Lebaran tahun ini juga tak sama. "Permintaan saat hari raya tidak seramai tahun lalu. Qurban saja permintaannya sudah turun. Ini betul-betul efek dari Covid-19," kata Tauhid.

Pemerintah baru-baru ini telah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional, yang salah satunya untuk menggenjot konsumsi. Meski realisasi anggaran telah mencapai lebih dari 30 persen, ia mengatakan, nyatanya belum cukup mampu meningkatkan konsumsi.

Program bantuan sosial yang dibagikan secara nontunai untuk dibelikan sembako pun tak bisa memicu adanya perputaran uang. Lagipula, kata dia, bantuan-bantuan dari pemerintah tergolong kecil dan tidak memenuhi kebutuhan riil. "Bansos kurang banyak (diberikan) apalagi yang nontunai dan hanya bisa dibelikan sembako pula," kata dia.

Tauhid pun menilai, kekhawatiran terhadap wabah virus corona masih sangat besar. Alhasil, meski pemerintah mulai melakukan relaksasi terhadap Pembatasan Sosial Berskala Besar sejak awal Juni lalu, hal itu tak bisa mendorong konsumsi. Terutama kelas menengah yang menjadi pendorong utama konsumsi rumah tangga.

Ia mengatakan, jika laju inflasi semakin rendah dan bahkan terus mengarah pada deflasi, bakal mencerminkan bahwa ekonomi tidak bergulir dengan normal. Di satu sisi, peredaran barang dan jasa menjadi tidak normal dan tak mampu menciptakan daya dukung nilai tambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang bulan Juli 2020 mengalami deflasi sebesar 0,10 persen. Terjadinya deflasi dinilai akibat adanya penurunan harga-harga kebutuhan pokok disertai pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan secara global.

Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan, dengan terjadinya deflasi 0,10 persen, maka tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Juni 2020) sebesar 0,98 persen, adapun inflasi tahunan (Juli 2019-Juli 2020) hanya 1,54 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement