REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gilang, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Indonesia kini, tengah menjadi pembicaraan. Dia mengidap fetish terhadap orang yang dibungkus kain jarik. Setelah postingan salah satu korban, kemudian muncul korban lainnya.
Apa sebenarnya fetish ini dan apa penyebabnya? Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Primaya Hospital Bekasi Barat, dr. Alvina, Sp.KJ, fetish adalah objek yang tidak hidup. Sedangkan, fetishism adalah fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang menggunakan objek tidak hidup sebagai metode untuk membuat seseorang terangsang secara seksual.
“Seseorang dengan Fetishism akan berfantasi seksual atau melakukan perilaku seksual misalnya masturbasi dengan menggunakan benda yang tidak hidup sebagai objek untuk menimbulkan rangsangan seksual,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (3/8).
Menurutnya, fetishism mungkin bisa terjadi saat anak menjadi korban atau anak melihat perilaku seksual yang menyimpang. Ada teori lain yang mengatakan bahwa seseorang mungkin mengalami kurangnya kontak seksual sehingga mencari pemuasan dengan cara yang lain.
Terdapat pula teori lainnya yang mengatakan, bahwa terjadi keraguan tentang maskulinitas pada laki-laki yang mengalami fetishism atau ada rasa takut adanya penolakan yang terjadi sehingga ia menggunakan objek yang tidak hidup untuk memberinya kepuasan seksual.
“Secara umum, penyimpangan seksual lebih banyak dialami laki-laki daripada perempuan dan terdapat teori yang mengatakan bahwa Fetishism berkembang sejak masa kanak-kanan namun ada pula yang mengatakan onset-nya adalah saat masa pubertas,” ujarnya.
Untuk melakukan penyembuhan, gangguan Fetihistik bisa diterapi dengan berbagai modalitas psikoterapi baik individual maupun kelompok serta dapat dilakukan pemberian terapi obat-obatan dan hormon.
“Untuk menghindari gangguan Fetihistik, hendaknya masyarakat menciptakan lingkungan yang ramah anak, peduli pada kesehatan anak baik secara fisik maupun mental, dan bersikap melindungi anak dari paparan kekerasan baik kekerasan fisik, mental, maupun seksual,” ujarnya.