REPUBLIKA.CO.ID, Israel yang memiliki militer paling perkasa di kawasan Timur Tengah, ternyata pernah kena batunya. Mereka harus angkat kaki dari wilayah Lebanon selatan. Pada Rabu (24/5/2000), pukul 06.42, tentara Israel terakhir meninggalkan bumi Lebanon yang mereka duduki 22 tahun, sebelum sebuah gerbang perbatasan kedua negara digembok.
Itulah kekalahan terbesar Israel, sebuah negara Zionis yang didirikan melalui konspirasi oleh penjajah Inggris di tanah Palestina pada 1948 silam. Untuk kesekian kalinya, mundurnya Israel membuktikan kemenangan perlawanan rakyat atas invasi militer sekuat apa pun.
Penarikan itu memang tak sampai mengubah peta persaingan otot militer Israel dengan negara-negara Arab lawannya. Dengan sokongan AS dan jaringan Zionis internasional, Angkatan Pertahanan Israel (IDF) memang masih yang paling unggul.
Tapi para pengamat melihat penarikan itu jadi momentum besar bagi maraknya kembali gerakan gerilya, terutama oleh Palestina. ''Ini pertama kali Israel kalah perang. Tapi sebenarnya kekalahan ini sudah terjadi lama, sejak mereka menginvasi Lebanon selatan,'' kata pakar sejarah militer, Martin Van Creveld.
''Seperti Amerika Serikat di Vietnam atau Rusia di Afghanistan, Israel tak bisa menang menghadapi perlawanan gerilya (Hizbullah dan Amal, Red), yang mendapat dukungan rakyat setempat,'' lanjutnya. Di Amman, Yordania, media massa merayakan penarikan Israel sebagai kemenangan seluruh dunia Arab dan masyarakat Islam internasional.
''Waktu 22 tahun yang penuh darah tumpah, kepedihan, serta kepahlawanan telah berubah jadi kemenangan, bukan hanya bagi rakyat Lebanon dan perjuanagn Islam melainkan juga bagi dunia Arab, dari Laut Tengah sampai Kawasan Teluk, dari Tangiers sampai Jakarta,'' tulis Koran Al-Dustour.
Menurut Creveld, sukses besar gerilyawan Hizbullah dan Amal dalam melengserkan Israel dari Lebanon akan memberikan inspirasi baru bagi rakyat Palestina yang masih merasakan pahitnya dijajah Israel.
Ia memperkirakan, akan marak gerakan intifada atau gerakan perlawanan, di tengah suramnya nasib pembicaraan damai Palestina-Israel. Benar saja, pagi-pagi pemimpin Palestina Yasser Arafat kemarin menagih janji masyarakat internasional melalui Resolusi DK PBB 425 1967.
Isinya agar Israel mengembalikan seluruh tanah di kawasan Timur Tengah, termasuk Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza Palestina, yang dirampas Israel dalam perang pada tahun itu.
Itu ditegaskan lagi oleh pembantu dekat Arafat, Nabil Abu Rudeina, yang menuntut pengembalian seluruh tanah Palestina yang telah dijarah Yahudi Israel. ''Penarikan Israel harus diikuti langkah lain demi perdamaian. Israel harus mengembalikan tanah Lebanon, Palestian, dan Suriah,'' kata Rudeina.