Selasa 04 Aug 2020 18:49 WIB

Al-Fazari: Astronom Baghdad

Al-Fazari ikut membawa Muslim berada di garda depan dalam pengembangan astronomi.

Rep: Yusuf Asiddiq/ Red: Muhammad Hafil
Al-Fazari: Astronom Baghdad. Foto: Astronomi Islam (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Al-Fazari: Astronom Baghdad. Foto: Astronomi Islam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Muhammad ibnu Ibrahim al-Fazari menyumbang peran. Terutama dalam perkembangan astronomi di masa Abbasiyah. Ilmuwan yang karib disapa al-Fazari ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Di antara sumbangsih besarnya melalui pemikirannya dan penerjemahan sejumlah literatur asing.

Melalui sejumlah langkah yang ditempuhnya, al-Fazari ikut membawa Muslim berada di garda depan dalam pengembangan astronomi. Silang pendapat muncul mengenai dari mana ia berasal. Sejumlah kalangan mengungkapkan al-Fazari mungkin berkebangsaan Persia.

Baca Juga

Di sisi lain, beberapa sejarawan pun angkat bicara. Menurut mereka, jika mengacu pada nama, al-Fazari berasal dari Arab, tetapi mempelajari keahliannya di Persia. Al-Fazari hidup sekitar abad ke-8, dan menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.

Filsuf, astronom, serta ahli matematika ini lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayahnya diketahui bernama Ibrahim al-Fazari, yang dikenal pula sebagai astronom dan ahli matematika. Sejumlah catatan sejarah menyingkap peran Muhammad al-Fazari pada masa awal kelahiran tradisi intelektual di kota 1001 malam itu.

Bersama beberapa cendekiawan lainnya, seperti Naubakht, Masha'Allah, dan Umar ibnu al-Farrukhan al-Tabari. Dia meletakkan dasar-dasar penerapan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pun pada bidang astronomi.

Khalifah al-Mansyur merupakan penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian astronomi serta astrologi. Khalifah tidak segan mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini. Ia mengumpulkan serta mendorong kaum cendekia Muslim menerjemahkan beragam literatur.

Seperti literatur dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Pada masa itu, memang terjadi kegairahan luar biasa dalam transfer ilmu pengetahuan. Dalam pengembangan intelektualitas di Baghdad, sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi bernama Naubahkh, yang memimpin upaya itu.

Khalifah pernah menulis surat kepada kaisar Bizantium supaya mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, pada tahun 772 Masehi, Khalifah al-Mansyur meminta al-Fazari menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India. Judulnya Sindhind, tulisan Brahmaghupta.

Buku luar biasa itu dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka, ke Baghdad, dan segera menarik perhatian kaum terpelajar di sana. Al-Fazari menunaikan tugasnya dengan baik. Bukan tanpa alasan khalifah memberikan amanat penting itu kepada al-Fazari.

Al-Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya, Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, saat itu telah menguasai astronomi. Maka itu, di bawah arahan khalifah langsung, dia mampu menerjemahkan serta menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis itu.

Kemudian, ia menyematkan judul pada karya terjemahan tersebut, yaitu Zij al sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab). Ilmuwan kondang bernama Yaqub ibnu Tariq juga membantu kerja pengalihbahasaan ini. Gairah dan kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi lain menjadi kunci keberhasilan.

Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Tak hanya karena wawasan astronominya, tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Kerja al-Fazari melalui penerjemahan mengenalkan sistem itu ke dunia Arab untuk pertama kalinya.

Ada kesinambungan yang berkait kelindan. Tugas yang diawali al-Fazari pada masa selanjutnya disempurnakan al-Khawarizmi. Al-Fazari menyusun zij atau tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dengan mengombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas, dengan perhitungan tahun Hijriah Arab.

Selain itu, dalam karyanya al-Fazari mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel. Ketika kekhalifahan dipangku oleh Khalifah Harun al-Rasyid, al-Fazari lantas membuat astrolabe pertama di dunia Islam. Di tangan para pakar, astrolabe menjadi instrumen ilmiah paling penting yang pernah dibuat.

Dengan desain akurat, astrolabe menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan. Benda ini pun merupakan model alam semesta yang bisa digenggam, sekaligus jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise in the Astrolabe, menyatakan astrolabe kemudian menjadi alat bantu navigasi utama.

Hanya dalam kurun beberapa tahun setelah diciptakannya astrolabe oleh al-Fazari, kemajuan astronomi melesat. Instrumen itu memainkan peran signifikan terhadap pencapaian bidang astronomi umat Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al-Sufi berhasil memanfaatkannya dengan baik.

Al-Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan astrolabe dalam berbagai bidang yang berbeda, seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei, penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan penunjuk waktu. Ada karya lain al-Fazari, berupa syair dengan judul Qasida fi Ilm al-Nujum  (Puisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan).

Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement