REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan ilmu kesehatan di dunia Islam terus melaju. Semua memiliki pijakan kuat yang bermula dari teladan Muhammad SAW. Seiring masa, cendekiawan Muslim tak melulu menekankan pada pengobatan. Namun, mereka bahkan lebih menggali upaya pencegahan munculnya penyakit.
Dalam buku Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi menjelaskan bahwa dokter Muslim mencurahkan sebagian besar bakat medisnya untuk pengobatan preventif. “Mereka berkeyakinan, menjaga kesehatan lebih penting daripada menyembuhkan.”
Selain itu, dalam buku berjudul al Shina’ah al Thibbiyyah setebal 31 bab, Ali bin Abbas membahas pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. Keduanya dipandang sebagai kebutuhan akan keseimbangan dan harmoni antara enam pasang hal-hal yang berlawanan, seperti ekskresi dan retensi, gerakan psikis dan istirahat, gerakan raga dan istirahat, tidur dan bangun, kelebihan dan kekurangan makan dan minum, serta kelebihan dan kekurangan udara.
Pentingnya tindakan preventif diamini Ibnu Sina (980-1037), yang berjuluk Bapak Pengobatan Modern. Ilmuwan, dokter, dan filsuf legendaris asal Persia ini bahkan lebih menyukai tindakan preventif itu daripada kuratif. Dalam bukunya yang berpengaruh, al Qanun fi Thib, Ibnu Sina yang di dunia Barat dikenal dengan nama Avicena kemudian menguatkan aspek spiritual dan fisik secara simultan dalam langkah preventif itu.
Menurut dia, ada beberapa hal yang dapat memengaruhi kesehatan ataupun stamina fisik seseorang, yakni temperatur, makanan, minuman, limbah, udara, keseimbangan gerak, pikiran, tidur, serta pekerjaan. Penelitian Ibnu Sina juga membuktikan khasiat madu dan minyak zaitun bagi ketahanan tubuh.
Secara khusus, ia menyinggung diet dan makanan bergizi. Dia menjelaskan pentingnya diet dengan mengonsumsi makanan bergizi. Seseorang dianjurkan banyak memakan sayuran, buah, kacang-kacangan, susu, ikan, dan sebagainya agar terjaga kesehatan tubuhnya dari aneka bibit penyakit.
Perilaku diet turut dinilai penting menurut ahli medis terkemuka dari Suriah, Ibnu al-Nafis (1210-1296). Penulis ensiklopedia kedokteran al-Kitab al-Shamil fi al-Thibb ini lebih menekankan diet ketimbang memberikan resep obat-obatan. Ia melontarkan prinsipnya, mencegah penyakit dapat dilakukan dengan pengaturan makanan.
Demikian pula Abul Walid Muhammad ibnu Rusyd (wafat 1198) yang menempatkan metode menjaga kesehatan sebagai salah satu objek penelitiannya. Ibnu Rusyd adalah dokter, filosof, dan hakim kenamaan. Dia pula orang pertama yang menemukan dan menerapkan peranan latihan fisik dalam menjaga kesehatan.
Uraian mengenai pemeliharaan kesehatan termaktub pula dalam kitab Taqwim as Sihha (Menjaga Kesehatan) karya Ibnu Butlan, ilmuwan asal Irak. Dia mengemukakan enam hal yang dapat memengaruhi kesehatan.
Pertama, kebersihan udara. Menurut dia, udara bersih bermanfaat memelihara fungsi paru-paru. Kedua, memperhatikan kualitas gizi makanan dan minuman. Ketiga, berolahraga atau gerak badan. Keempat, cukup tidur dan beristirahat. Kelima, menenangkan pikiran dengan memperbanyak humor. Terakhir, tidak mudah marah, kecewa, atau sedih yang berlarut-larut.
Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Tacuinum Sanitatis. Lewat tulisan The Arabs and Mediaeval Europe, N Daniel menyatakan, Ibnu al-Wafid menambahkan aspek spiritual sebagai bagian penting memelihara kesehatan. Misalnya, shalat.
Melalui shalat dan gerakan-gerakannya, seorang Muslim memperoleh dua keutamaan aspek medis sekaligus baik secara fisik maupun psikis. Beberapa pemikir sufi pada masa itu punya pandangan spiritual senada. Sufisme, dalam berbagai bentuk, memberikan masukan atas kesehatan diri, selain melindungi lingkungan.
Salah satu pemikiran Ibnu al-Wafid, seperti dikutip dari buku Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, adalah praktik zuhud atau menahan hawa nafsu dunia serta menjauh dari kekayaan dan hidup sesederhana mungkin. Para sufi berkeyakinan, zuhud sebagai jalan mencapai kesehatan jiwa dan raga.
Kitab al-Adwiya al-Mufada atau Powers of Medicine and Food karya lain Ibnu al-Wafid menguraikan pengobatan serta makanan. Ia menjelaskan bahwa fungsi pengobatan adalah mengembalikan kesehatan tubuh. Ini mencakup dua hal. Pertama, memahami keseluruhan bagian-bagian tubuh dan fungsinya.
Kedua, pengetahuan tentang obat-obatan dan makanan. Ilmuwan asal Toledo ini percaya, apabila kedua aspek itu dapat terpenuhi, masing-masing orang akan sanggup menjaga kesehatan diri dan lingkungannya sehingga memperkuat langkah preventif. Langkah preventif menjadi gerakan pada masa sekarang ini.
Kitab Air
Seakan tak ada habisnya, literatur medis lain pun lahir. Kitab al-Ma’a atau Kitab Air menambah banyak rujukan tertulis mengenai medis. Ini merupakan ensiklopedia kedokteran yang disusun oleh Abu Mohammed Abdullah ibnu Mohammed al-Azdi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Thahabi. Ia lahir di Kota Suhar, Oman. Ia pindah ke Basra, kemudian Persia untuk belajar di bawah bimbingan al-Biruni dan Ibnu Sina. Pada masa selanjutnya, ia memutuskan berpindah lagi ke Bait al-Maqdis, Yerusalem. Akhinya, ia memilih menetap di Valancia, Spanyol, hingga mengembuskan napas terakhir.
Tebal buku ini mencapai 900 halaman. Di setiap jenis alfabet, ia menjelaskan nama penyakit, obat, serta proses psikologis atau perawatan. Al Thahabi tak hanya mendaftar penyakit, tetapi ia pun menambahkan ide-ide segar lainnya dengan menjelaskan fungsi-fungsi organ tubuh manusia.
Inti dari pemikirannya tentang pengobatan adalah penyembuhan berawal dari makanan yang terkontrol dan olahraga. Kemudian, ia baru menganjurkan mengonsumsi obat-obatan untuk menopang kesembuhan.