REPUBLIKA.CO.ID, SHIRAZ – Jaringan mata-mata Zionis Israel ibarat gurita, tangannya menjarah ke mana-mana. Sasarannya tak terkecuali Iran, negara yang memandang Israel sebagai 'setan kecil' dan musuh besar nomor dua setelah 'si setan besar' Amerika Serikat.
Tapi sepandai-pandai para spion Mossad beraksi di Iran, 13 di antaranya telah diketahui belangnya oleh Iran. Peristiwa persidangan mereka terjadi pada tahun 2000 yang lalu, sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.
Ke-13 agen Israel tersebut sebenarnya berkewarganegaraan Iran. Tapi lantaran ia keturunan Yahudi, mereka mau saja direkrut Mossad dan dibujuk untuk berkhianat terhadap Iran. Ke-13 tersangka mata-mata Israel ditangkap tiga kota berbeda di Iran, Shiraz, Isfahan, dan Teheran.
Salah satunya adalah, Hamid Tefilin. Ia mengaku, telah berencana melakukan latihan di bawah badan intelijen Israel, Mossad. Ihwal pengakuan Tefilin ini disampaikan pada para wartawan oleh jubir pengadilan, Hossein Ali Amiri.
Sidang memang tertutup, dan para pemburu berita dilarang memasuki ruang pengadilan untuk meliput jalannya sidang. Seperti katakan Amiri, Tefilin mengaku pula telah memberikan dokumen-dokumen rahasia kepada Israel. Dokumen seperti apa, Amiri sendiri menolak menjelaskannya secara rinci kepada para wartawan.
Lebih jauh, Tefilin mengaku pula, pernah dua kali mengunjungi Israel. Bahkan selama di negeri Yahudi itu, ia dibayar 500 dolar per bulan. Namun Tefilin menyangkal tuduhan bahwa ia telah merekrut sejumlah orang untuk menjadi anggota dua jaringan mata-mata yang masing-masing bermarkas di Teheran dan Shiraz, kota di bagian selatan Iran.
Kendati demikian, pengacara Tefilin, Ismail Nasseri berkeras kliennya tak terlibat dalam aksi mata-mata. ''Menurut hukum Iran, mengunjungi Israel, mendapatkan pelatihan di sana bahkan tukar menukar informasi dengan pihak asing tidak disebut sebagai aksi mata-mata,'' kata Ismail.
Ia tegaskan pula bahwa orang Iran manapun diperkenankan oleh hukum untuk berhubungan dengan negara asing, bahkan dengan Israel, negara Yahudi yang tidak diakui keberadaannya oleh Iran. ''Harus diingat pula, kontak yang dilakukan warga Iran dengan sebuah jaringan spionase asing juga tidak disebut sebagai aksi mata-mata oleh hukum Iran,'' ujar Ismail. Selain Tefilin, ada dua terdakwa lainnya yang juga menjalani pemeriksaan. Setelah memeriksa ketiga terdakwa, hakim memutuskan untuk menunda sidang hingga hari Rabu (3/5/2000).
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi, Hamid Tefilin, warga Iran berdarah Yahudi, terdakwa utama dalam kasus mata-mata berkata, ''Saya telah mengkhianati tanah air saya dengan menjadi mata-mata Israel,'' tutur Tefilin.
Dalam pengakuan yang ia lontarkan lewat wawancara dengan televisi pemerintah Iran itu, Tefilin juga mengaku bersalah atas apa yang telah dilakukannya. ''Saya bersalah. Saya menerima tuduhan yang dialamatkan pada saya. Saya memang mata-mata Israel,'' katanya dengan mimik sangat tenang. Pengakuannya ini ditayangkan oleh televisi pemerintah Iran dalam acara berita, Senin malam (1/5/2000).
Mengenakan baju penjara warna abu-abu, ia terus terang mengaku sangat menyesal. Namun apa yang telah ia lakukan, kata Tefilin, gara-gara ulah Israel juga. Ia merasa ditipu mentah-mentah oleh Israel yang terus menerus merayunya untuk berkhianat pada Iran, tanah airnya.
Dalam merayu, katanya, pemerintah Israel selalu mengatakan pada orang-orang Iran berdarah Yahudi yang ingin direkrutnya bahwa Israel adalah 'Tanah yang Dijanjikan' bagi bangsa Yahudi. Termakan oleh rayuan itu, Tefilin kemudian menyusun langkah untuk kegiatan mata-matanya.
Salah satunya adalah dengan merekrut sejumlah warga Muslim Iran. Dari merekalah, Tefilin mendapatkan sejumlah informasi penting yang kemudian disampaikannya kepada Israel.
''Saya telah mengkhianati Iran dan menginjak-injak kepercayaan yang diberikan pada saya oleh pemerintah maupun masyarakat. Sungguh saya sangat menyesal. Sekarang saya menyadari bahwa Iran adalah rumah saya karena saya tinggal di sini.''