REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan aplikasi berbagi video asal China, yakni TikTok, harus gulung tikar dari negaranya jika tidak menjual operasinya pada pertengahan September. TikTok telah menjadi sasaran baru Pemerintah AS karena dituding mengancam keamanan nasional AS.
"Saya menetapkan tanggal sekitar 15 September, pada saat itu TikTok akan keluar dari bisnis di AS. TikTok akan ditutup pada 15 September kecuali Microsoft atau orang lain dapat membelinya dan membuat kesepakatan," kata Trump kepada awak media pada Senin (3/8).
Trump pun mengungkapkan persyaratan terbaru dalam proses penjualan bisnis atau operasi TikTok di AS. Dia mengatakan penjualan harus menghasilkan pembayaran yang signifikan kepada Departemen Keuangan AS untuk memprakarsainya.
"Sebagian besar dari harga itu harus masuk ke Departemen Keuangan AS, karena kami memungkinkan perjanjian ini terjadi. Mereka tidak memiliki hak apa pun kecuali kami memberikannya kepada mereka," ujar Trump.
Pada Selasa (28/7) pekan lalu, sekelompok senator dari Partai Republik AS mengirim surat bersama ke Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODHI), Plt Menteri Departemen Keamanan Dalam Negeri Chad Wolf, dan Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) Christopher A. Wray. Surat itu ditulis oleh Marco Rubio, Tom Cotton, Ted Cruz, Joni Ernst Thom Tilis, Kevin Cramer, dan Rick Scott.
Dalam surat tersebut, mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa TikTok dapat digunakan Pemerintah China untuk mengintervensi jalannya pemilihan presiden AS pada November mendatang. "Kami sangat khawatir bahwa (Partai Komunis China) dapat menggunakan kontrolnya atas TikTok untuk mengubah atau memanipulasi percakapan (politik) untuk menabur perselisihan di antara orang Amerika serta untuk mencapai hasil politik yang disukai," kata mereka dalam suratnya.
Para senator menyinggung tentang penyensoran yang dilakukan TikTok atas konten-konten sensitif di dalam platformnya. Misalnya, video yang mengkritik perlakuan China terhadap etnis Uighur dan upaya Beijing memanipulasi diskusi politik pada aplikasi media sosial.
Dalam surat tersebut, mereka pun bertanya apakah China dapat memperkuat pandangan politik tertentu dan melakukan operasi pengaruh melalui aplikasi yang dimiliki Beijing ByteDance Technology Co tersebut. "Jika bukti intervensi Partai Komunis China melalui TikTok muncul, apakah ByteDance layak untuk disanksi?" kata mereka.
Pemerintah China telah mengecam langkah-langkah yang diambil AS terhadap TikTok. "Tanpa bukti, AS mengancam perusahaan China berdasarkan anggapan bersalah, mengungkapkan kemunafikannya dalam apa yang disebut 'menjunjung tinggi keadilan dan kebebasan'. Ini melanggar prinsip-prinsip WTO tentang keterbukaan, transparansi dan non-diskriminasi, dan itu tidak melayani kepentingan rakyat serta perusahaan Amerika," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Wang Wenbin pada Kamis (30/7), dikutip laman resmi Kemlu China.
Wang menekankan, pemerintah dan media dari beberapa negara telah menegaskan seharusnya tidak ada standar ganda dalam hal media sosial. Menurutnya, perangkat lunak dan aplikasi asal negaranya memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar orang-orang, memberikan pilihan yang beragam, dan membantu pasar media sosial di semua negara tumbuh secara sehat.
Dia meminta AS memperhatikan suara-suara dari komunitas internasional. Selain itu, Washington diminta memberikan lingkungan pasar yang terbuka, adil, dan tidak diskriminatif untuk entitas dari semua negara, termasuk China. "Berhenti mempolitisasi masalah perdagangan dan ekonomi. Ini menyangkut citra dan kredibilitas AS," ujar Wang.