Rabu 05 Aug 2020 13:02 WIB

Israel Tuding Iran Selundupkan Senjata ke Pelabuhan Lebanon

Israel menyebut pelabuhan Beirut yang jadi lokasi ledakan dipakai untuk penyelundupan

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
 Api membakar setelah ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, Selasa (4/8) waktu setempat.
Foto: Hassan Ammar/AP
Api membakar setelah ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, Selasa (4/8) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Duta Besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Danny Danon menuduh Iran mengeksploitasi perusahaan sipil dan maritim untuk menyelundupkan peralatan pembuatan senjata ke Hizbullah di Lebanon. Ia mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa intelijen menemukan bukti bahwa pasukan Quds Iran menggunakan pelabuhan di Beirut untuk melakukan pengiriman tersebut sejak tahun lalu. 

“Pada 2018 hingga 2019, Israel menemukan bahwa barang-barang bekas pakai diselundupkan ke Lebanon untuk memajukan kemampuan roket dan rudal Hizbullah,” ujar Danon dalam pertemuan dengan Dewan Keamanan PBB di Timur Tengah, dilansir Times of Israel, Rabu (5/8). 

Baca Juga

Danon menuturkan bahwa Iran dan Pasukan Quds telah mulai memajukan eksploitasi saluran laut sipil, secara khusus di pelabuhan Beirut. Dalam sebuah pernyataan, misi Israel mengatakan ‘agen-agen’ Suriah telah membeli barang-barang bekas dari perusahaan-perusahaan asing dengan alasan palsu dan memberikannya kepada Hizbullah.

Danon kemudian memberikan kepada Dewan Keamanan PBB sebuah peta rute perpindahan Hizbullah yang mencakup pusat-pusat utama di bandara Damaskus, pelabuhan dan bandara Beirut, dan penyeberangan perbatasan resmi antara Suriah dan Lebanon, seperti penyeberangan Masnaa. Ia mengatakan proses transfer itu telah nyata melanggar resolusi PBB 1701, yang mengakhiri Perang Lebanon pada 2006 antara Hizbullah dan Israel.

Meski demikian, Danon tidak merinci barang apa yang diperoleh kelompok teror melalui cara-cara ini atau menyebutkan nama perusahaan di balik pengiriman. Beberapa komandan Hizbullah sebelumnya mengatakan bahwa kelompok itu mengerahkan pasukan untuk persiapan potensi perang dengan Israel, sekaligus memperingatkan bahwa tekanan yang meningkat dari sanksi  Amerika Serikat (AS) terhadap Teheran dapat memicu konflik seperti itu lebih cepat terjadi.

Bahkan, pasukan Hizbullah dikatakan sedang mempersiapkan perang di perbatasan Lebanon dan Suriah dengan Israel. Para personel di kelompok itu mengaku lebih siap untuk menghadapi Israel dibanding 2006, setelah mengirim ribuan orang untuk berperang bersama pasukan Presiden Suriah Bashar Al Assad.

Dikutip Arab News, Hizbullah merupakan kelompok yang didukung dan didanai oleh Iran dan digolongkan sebagai organisasi teroris oleh AS dan sejumlah negara lainnya. Hizbullah saat ini mendominasi politik Lebanon dan mendukung pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hassan Diab.

Pada tahun-tahun sejak perang yang terjadi pada 2006, Israel telah berulang kali menuduh Hizbullah melanggar resolusi 1701, yang menyerukan semua kelompok bersenjata selain militer Lebanon untuk tetap berada di atas Sungai Litani. Israel menyatakan bahwa kelompok yang didukung Iran tersebut terus melakukan pelanggaran, yaitu dengan menjaga persentase yang signifikan dari arsenal roket dan mortir berkekuatan 100.000 orang di selatan Lebanon, serta melakukan patroli dan kegiatan militer lainnya di sepanjang perbatasan kedua negara.

Pada akhir 2018 dan awal 2019, Israel melaporkan telah menemukan setidaknya enam terowongan lintas perbatasan digali oleh Hizbullah dari selatan Lebanon ke Israel. Kelompok itu diduga telah merencanakan penggunakan terowongan untuk menculik atau membunuh warga sipil atau tentara Israel, serta merebut sepotong wilayah Israel jika terjadi permusuhan. 

Pasukan penjaga perdamaian UNIFIL mengkonfirmasi hal itu sebagai pelanggaran resolusi 1701. Meski demikian, Hizbullah tidak dinyatakan maupun diidentifikasi sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas penggalian tersebut.

Pada Juni lalu, kepala Komando Utara Militer Israel (IDF) Amir Baram, mengancam tindakan terbuka dan rahasia terhadap Hizbullah dan Lebanon, dalam menanggapi upayanya untuk membangun infrastruktur teroris di sepanjang perbatasan. Ia mengatakan kelompok itu tengah “membangun infrastruktur di desa-desa di seberang perbatasan dan mencoba mengancam negara. 

Kepala Komando Utara IDF mengatakan bahwa dalam perang di masa depan melawan Hizbullah, Lebanon mungkin harus membayar harga yang mahal karena membiarkan kelompok itu mengakar di sana. Sejak perang saudara Suriah dimulai pada 2011, Israel telah mengakui melakukan ratusan serangan udara di Suriah pada target yang terkait dengan Iran dan Hizbullah.

Israel menuduh Iran berusaha untuk membuat kehadiran militer di Suriah yang dapat mengancam keamanan Israel dan berusaha untuk mentransfer persenjataan canggih ke Hizbullah. Pada 2019, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa Hizbullah menyembunyikan fasilitas produksi rudal presisi di bawah Beirut.

Netanyahu juga menunjukkan foto-foto satelit yang dimaksudkan untuk menunjukkan fasilitas rahasia, yang terletak tidak jauh dari bandara internasional di Ibu Kota Lebanon tersebut. Awal bulan ini, ia memperingatkan bahwa jet tempur Israel dapat mencapai mana saja di Timur Tengah, termasuk Iran.

Berkaitan dengan seluruh dugaan Israel tersebut, saat ini Lebanon tengah terguncang oleh insiden dua ledakan besar di Pelabuhan Beirut, yang terjadi tepatnya pada Selasa (4/8) kemarin. Kementerian Kesehatan negara itu sejauh ini mengkonfirmasi 73 orang meninggal dan 3.700 lainnya terluka dalam peristiwa tersebut. 

Dalam laporan terbaru dari Mayor Jenderal Lebanon Abbas Ibrahim, berdasarkan hasil pemeriksaan awal, diketahui terdapat 2.700 tons Amonium Nitrates yang meledak di pelabuhan. Amonium Nitrate adalah bahan yang sangat mudah meledak dan sering digunakan untuk pupuk, tetapi juga tak jarang dimanfaatkan sebagai bahan peledak. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement