REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Perdana Menteri India Narendra Modi diagendakan berpartisipasi dalam acara peletakan batu pertama pembangunan kuil Hindu di situs suci Ayodhya di Negara Bagian Uttar Pradesh pada Rabu (6/8). Situs itu kontroversial karena sebelumnya dimiliki umat Muslim.
Modi secara simbolis akan meletakkan batu bata perak seberat 40 kilogram sebagai tanda resmi dimulainya pembangunan kuil Dewa Ram. Ayodhya secara luas diyakini oleh beberapa umat Hindu sebagai tempat kelahiran Ram.
Pembangunan kuil tersebut dimungkinkan atas vonis Mahkamah Agung India pada November tahun lalu. Dalam keputusannya, Mahkamah Agung India menyerahkan kepemilikan situs suci Ayodhya pada umat Hindu.
Perselisihan klaim atas situs suci Ayodhya telah terjadi selama puluhan tahun. Namun, jika dirunut dari sangat awal, hal itu dapat dimulai pada 1528, yakni ketika Kaisar Mughal Babur membangun masjid (dikenal dengan Masjid Babri) di Ayodhya. Keterangan tersebut diperoleh dari dokumen-dokumen yang dimiliki kelompok-kelompok Muslim di sana.
Pada 1949, kelompok-kelompok Hindu di India tiba-tiba meletakkan patung bayi Dewa Ram di area masjid. Mereka meyakini Dewa Ram lahir di tempat itu. Kelompok Muslim menuding ada persekongkolan antara pejabat pemerintah dan biksu Hindu terkait peletakan patung tersebut.
Pada 1950, kelompok Hindu mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menyembah patung Dewa Ram di dekat area masjid Ayodhya. Kemudian pada 1986, pengadilan memerintahkan lokasi yang disengketakan dibuka agar umat Hindu dapat berdoa di sana.
Pada 1992, ribuan aktivis Hindu yang dipimpin partai Perdana Menteri Narendra Modi, yakni Bharatiya Janata Party (BJP), merobohkan Masjid Babri. Peristiwa itu segera diikuti dengan meletusnya konflik antara umat Muslim dan Hindu di India utara dan barat. Lebih dari 2.000 orang diperkirakan tewas selama pertikaian berlangsung.
Pada 2010, pengadilan tinggi Allahabad di Uttar Pradesh memutuskan bahwa situs masjid Ayodhya harus dibagi kepada tiga pihak utama dalam kasus ini. Setahun kemudian Mahkamah Agung India tetap menjalankan perintah pengadilan tinggi. Hal itu berlangsung hingga keputusan terbaru Mahkamah Agung India pada November tahun lalu.