Rabu 05 Aug 2020 14:02 WIB

Industri Pengolahan Penyumbang Terbesar Kontraksi Ekonomi

Hampir seluruh sektor industri di dalam negeri tumbuh negatif pada kuartal II.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Industri manufaktur
Foto: Prayogi/Republika
Industri manufaktur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri pengolahan yang menjadi penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sisi lapangan usaha mengalami kontraksi hingga minus 6,19 persen. Hampir seluruh industri menghadapi pertumbuhan negatif akibat guncangan perekonomian imbas pandemi virus corona.

"Pada kuartal kedua 2020 ini, industri pengolahan mengalami kontraksi yang cukup dalam," kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (5/8).

Baca Juga

Ia mengatakan, pada kuartal I 2020, sektor industri masih tumbuh positif sebesar 2,01 persen. Penurunan pertumbuhan industri sebetulnya sudah mengalami penurunan sejak kuartal IV 2019. Di mana, saat itu industri hanya mampu tumbuh 3,94 persen dari posisi kuartal III 2019 sebesar 4,68 persen.

Dari data BPS, dari 10 sektor industri, sebanyak 7 sektor mengalami kontraksi. Di mana, kontraksi terdalam dialami oleh alat angkutan sebesar minus 34,29 persen. Selanjutnya, diikuti industri tekstil dan pakaian jadi hingga minus 14,23 persen.

Hanya industri logam dasar, makanan dan minuman, dan industri kimia, farmasi, obat tradisional yang masih bisa tumbuh positif. Yakni masing-masing 2,76 persen, 0,22 persen, dan 8,65 persen.

Suhariyanto menjelaskan, turunnya industri alat angkutan disebabkan oleh penurunan produki mobil dan sepeda motor yang cukup tajam sebagai dampak pandemi. Sementara itu, industri tekstil dan pakaian jadi turut mengalami pertumbuhan minus lantaran anjloknya permintaan domestik maupun luar negeri.

Lesunya sektor industri tentunya berbanding lurus dengan situasi permintaan. Di mana, konsumsi masyarakat pun mengalami kontraksi.

Data BPS menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal II menyumbang 57,85 persen pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran. Namun, tingkat konsumsi nyatanya minus hingga 5,51 persen.

Suhariyanto mengatakan, melemahnya konsumsi hampir terjadi di seluruh sektor konsumsi. Konsumsi terhadap makanan dan minuman selain restoran minus 0,71 persen. Kemudian pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan minus 5,13 persen, transportasi dan komunikasi anjlok hingga minus 15,33 persen, restoran dan hotel minus 3,2 persen.

"Konsumsi rumah tangga yang positif hanya untuk perumahan dan perlengkapan rumah tangga 2,3 persen serta kesehatan dan pendidikan 2,02 persen," katanya.

Ia mengatakan, konsumsi masyarakat mengalami kontraksi tercermin dari fenomena penjualan eceran yang mengalami penurunan pada seluruh kelompok penjualan.

Salah satunya, penjualan wholesale mobil yang mencerminkan tingkat konsumsi masyarakat menengah ke atas turun 89,44 persen menjadi hanya 313.625 unit. Diikuti dengan turunnya produksi mobil di kuartal kedua sebesar 85,02 persen.

Selain itu, kondisi penjualan whole sepeda motor juga turun 79,9 persen atau hanya 313.625 unit. "Hasil survei Covid-19 oleh BPS dampak (daya beli) lebih ke masrakat golongan menenah ke bawah. Menengah keatas terdampak tapi tidak terlalu dalam," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement