REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sekelompok pakar hak asasi manusia (HAM) PBB mendesak India mengatasi situasi HAM yang mengkhawatirkan di wilayah Kashmir. Hal itu disampaikan berbarengan dengan peringatan satu tahun dicabutnya status khusus Kashmir oleh India.
Sebanyak 18 pakar HAM PBB meminta negara-negara menggandakan tekanan kepada India terkait isu Kashmir. "Diperlukan tindakan mendesak," kata mereka dalam sebuah pernyataan pada Rabu (5/8), dikutip laman Gulf Today.
Menurut mereka, sejak India mencabut status khusus Kashmir pada 5 Agustus 2019, situasi HAM di wilayah itu semakin buruk. "Kami sangat prihatin bahwa selama pandemi Covid-19, banyak pemrotes masih ditahan dan pembatasan internet tetap ada," ujar mereka.
Ketika India mencabut status khusus Kashmir, hal itu seketika memicu gelombang protes dan demonstrasi. Tak hanya menangkap warga yang terlibat dalam unjuk rasa, India turut memberlakukan jam malam dan menerapkan pembatasan akses komunikasi, termasuk internet.
"Jika India tidak mengambil langkah nyata dan segera untuk menyelesaikan situasi ini, memenuhi kewajiban mereka untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM yang bersejarah dan baru-baru ini serta mencegah pelanggaran di masa depan, maka masyarakat internasional harus melangkah," kata para pakar HAM PBB.
Kashmir merupakan satu-satunya wilayah di India yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan dengan garis Line of Control (LoC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.