REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan, kontraksi pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kuartal II bukan hal mengejutkan. Pasalnya, data-data ekonomi dalam beberapa bulan terakhir telah menunjukkan adanya sinyal pertumbuhan yang bakal minus.
"Ini bukan hal yang mengejutkan sekali. Sejak awal kami perkirakan pertumbuhan kuartal kedua akan berada pada level kontraksi 4-6 persen," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Rabu (5/8).
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (5/8) merilis angka pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II 2020 terkontraksi hingga minus 5,32 persen. Posisi itu turun drastis dari kondisi kuartal I 2020 yang masih tumbuh positif 2,97 persen.
Ia menuturkan, kurun waktu Maret-Juni 2020, indeks penjualan riil yang mencerminkan situasi konsumsi sudah melambat. Begitu pula pada angka Purchasing Managers Index (PMI) yang mencerminkan situasi industri juga ikut melambat.
Pada kuartal III, Yusuf mengatakan akan cukup sulit bagi Indonesia untuk membalikkan keadaan menjadi positif kembali. Core Indonesia telah memprediksi pertumbuhan ekonomi masih akan terkontraksi namun pada level yang lebih baik, yakni minus 2-4 persen.
"Menurut kami masih berada pada level kontraksi sehingga terdefinisi mengalami resesi," kata dia.
Yusuf menjelaskan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 dapat lebih baik lantaran sejak bulan Juni pemerintah mulai memberlakukan era normal baru. Pembukaan berbagai sektor-sektor ekonomi membantu adanya pergerakan ekonomi yang lebih besar.
Di satu sisi, belanja-belanja pemerintah untuk stimulus diyakini akan lebih besar daripada kuartal II lalu. "Atas dasar ini memang ada potensi perbaikan, walaupun sangat lamban karena kami lihat salah satu yang menghambat perekonomian pulih adalah tren kasus Covid-19 yang masih meningkat," katanya.