REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH - Beberapa pemimpin dari negara-negara Muslim termasuk diplomat top negara Islam mengutuk apa yang mereka sebut aneksasi Kashmir dan menutup India menarik pasukan bersenjata dari Kashmir yang dikelola India, Selasa (4/8). Hal ini dikemukakan sehari sebelum lembah Himalaya itu memperingati satu tahun pencabutan kasus khusus Kashmir oleh pemerintah India.
Ketua Organisasi Kerjasama Islam Dewan Hak Asasi Manusia, Adama Nana berpidato di webinar yang diselenggarakan oleh World Kashmir Awareness Forum (WKAF) dan mengutuk penutupan dan pemadaman komunikasi selama setahun di Kashmir yang dikelola India. "Pemerintah India telah menganiaya para aktivis hak asasi manusia dan orang tak bersalah dengan tuduhan palsu di bawah hukum kejam yang merupakan pelanggaran serius hukum internasional," kata Nana dikutip laman Anadolu Agency, Rabu (5/8).
Lockdown atau karantina wilayah yang hingga kini masih berlaku sejak setahun belakangan, menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di wilayah tersebut. Penduduknya juga mengalami tekanan ketika adanya kebijakan sistemik terhadap Muslim Kahsmir.
Perwakilan Tetap Pakistan untuk PBB Munir Akram menilai, bahwa Perdana Menteri India Narendra Modi telah menutup semua pintu dialog dan menggunakan kekuatan terhadap orang-orang tak bersalah di Kashmir. "India telah mengerahkan lebih dari 900 ribu tentara di Kashmir dan melakukan kekejaman terhadap orang-orang tak bersalah," katanya.
Dia mengatakan, dia menyerahkan dua dokumen kepada Dewan Keamanan PBB pada Senin lalu mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Kashmir dan satu lagi yang menguraikan kasus hukum lembah yang disengketakan itu. Akram mendesak komunitas internasional untuk mendukung tujuan sah warga Kashmir untuk mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan resolusi DK PBB.
Sementara itu, Direktur Pusat Urusan Islam dan Global Turki, Sami Al-Arian mengatakan, warga Kashmir dan Palestina berjuang untuk menentukan nasib sendiri di bawah pendudukan militer dan menghadapi kekuatan rasis dan Zionis.
"Kedua negara, Kashmir dan Palestina, menderita kemiskinan karena pasukan pendudukan telah menyebabkan mereka kehilangan ekonomi yang sangat besar dan menggunakan kekuatan melawan orang-orang yang tidak bersalah," kata Arian.
Dia menyesali pertumbuhan Islamofobia dan mengatakan pemerintah Israel dan India mempromosikan Islamofobia sementara kekuatan dunia memberikan senjata dan bantuan ekonomi kepada kedua negara terhadap Muslim yang tidak bersalah. Presiden Azad Jammu dan Kashmir, Sardar Masood Khan, mengkritik kebungkaman Dewan Keamanan PBB yang telah lama diadakan dan mengatakan kekuatan utama pada DK PBB tidak tertarik untuk menyelesaikan masalah lama di badan dunia itu.
"Pasukan India membunuh orang-orang Kashmir tak berdosa sementara dunia diam karena genosida mereka," kata Khan.
"5 Agustus 2019, tindakan India untuk mencabut status khusus lembah itu ilegal dan Kashmir telah menolaknya," ujarnya menambahkan.
Presiden Dewan Konsultasi Malaysia untuk Organisasi Islam Mohammad Abdul Hamid, Ibrahim Bulushi dari Kenya, kepala WKAF Ghulam Nabi Mir, dan jenderal keamanan forum Ghulam Nabi Fai juga berbicara. Mereka menuntut pencabutan segera pengepungan militer selama setahun, pemulihan semua konektivitas internet dan hubungan komunikasi dan membebaskan semua tahanan politik termasuk anak-anak di bawah umur, wartawan dan anggota masyarakat sipil.
Kashmir merupakan satu-satunya wilayah di India yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua. Dua per tiga wilayahnya dikuasai India, sementara sisanya dimiliki Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan dengan garis Line of Control (LoC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.
Sumber: