REPUBLIKA.CO.ID, Upaya pencerahan Barat terhadap negara-negara Timur (dalam hal ini Islam) mempunyai banyak catatan.
Catatan pertama untuk perjalanan pencerahan Barat yang selayaknya dipertimbangkan adalah interaksi antara sejarah Barat dan Timur. Interaksi ini bisa digambarkan dalam beberapa latar belakang sejarah seperti perseteruan antara Persia dan Roma, yakni perseteruan dua abad terakhir yang mencerminkan pendudukan Barat terhadap Timur.
Interaksi terakhir inilah yang kini menjadi santapan kebijakan politik, George W Bush, usai tragedi 9/11. Bush menyatakan terang-terangan bahwa Perang Salib telah dimulai. Perang Salib yang digaungkan Bush kian jelas dengan aksi pendudukan Amerika Serikat terhadap Irak, pelecehan Rasulullah SAW melalui karikatur, agresi zionis terhadap Lebanon, dan pernyataan Paus Benediktus XVI yang menghina Islam.
Praktik arogan Catatan kedua adalah kefasadan yang bermuara dari kekuasaan. Ketika mampu menguasai teknologi mutakhir, Barat berupaya memperluas ruang geraknya demi kepentingan dan pengaruh yang lebih besar. Upaya ini menyebabkan Barat terjebak dalam pelbagai kejahatan serta arogansi.
Meski berhasil memainkan kekuasaan di dalam negeri, persaingan dunia internasional dan hubungan antara negara kuat dan lemah tidaklah mudah ditundukkan Barat. Barat boleh berjaya di bidang teknologi, namun perlu diingat bahwa Timur harus dijadikan sebagai tumbal yang dipaksakan yang tidak boleh memiliki hak yang sama.
Barat memang sangat pandai menjaga struktur dalam negeri, namun gagal untuk mengatur dunia, karena tidak semua bangsa Timur bersedia dijadikan tumbal. Barat mempunyai pengalaman buruk dalam tragedi Hiroshima dan perang-perang lainnya seperti perang Vietnam. Namun, pengalaman buruk tersebut tidak membuat politikus Barat mau bercermin pada masa lalu.
Adapun catatan ketiga adalah dampak secara tak langsung dari kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa informasi yang disimpangkan. Ketika Barat tidak mengintervensi urusan internal sebuah negara, kebijakan ini disimpangkan sebagai langkah yang memelihara kediktatoran di dunia Timur. Padahal sebaliknya, kepentingan Barat akan terpelihara dengan mengintervensi urusan internal yang paling sentral dalam sebuah negara.
Ketika Barat membantu negara-negara terbelakang, kelak akan dapat dipahami sebagai bentuk penjajahan, bukan lagi bantuan. Ketika Barat membela hak-hak minoritas yang tertindas, hasilnya adalah pembentukan pemerintah zionis Israel yang ditindaklanjuti dengan penindasan terhadap bangsa Palestina.
Sementara itu, hal lainnya dalam catatan ketiga ini adalah liberalisme. Ideologi ini merupakan landasan kekuatan politik Barat yang tak boleh ditawar. Liberalisme boleh disebut sebagai dogma kekuatan politik globalisasi Barat bagi setiap cendekiawan yang berperan dalam menentukan arah sebuah bangsa.
Setelah 9/11, Bush mengisyaratkan kepada para cendekiawan agar peduli dengan arah hegemoni. Saat ini, dunia hanya mempunyai satu kutub. Kekuatan global Barat menyuarakan bahwa setiap orang boleh berpikir, namun pola pikirnya harus sesuai dengan Barat. Lihat pernyataan terakhir Paus Benediktus XVI yang kemudian diapresiasi oleh Bush sebagai dukungan atas perlawanan terhadap Islam radikal atau teroris.
Catatan keempat adalah konsekuensi pemikiran modern. Sama sekali tidak diragukan bahwa segala fenomena yang mengemuka mempunyai dampak atau konsekuensi yang tak dikehendaki. Sebagaimana sains dan teknologi modern sangat berperan dalam mengembangkan industri dan perdagangan yang kemudian berdampak pada sistem kapitalis.
Sejumlah pemikir, dalam menghadapi rangkaian kerusakan kapitalis, berlindung di balik komunisme dan sosialisme. Pemikiran sosialis dan komunis sebagai reaksi kritis yang dibarengi rasa tanggung jawab juga berakhir pada dampak yang tak dikehendaki, yakni sistem Stalin. Melalui sistem militer negara-negara adidaya atau industri, muncul produksi-produksi teknologi baru yang kemudian melahirkan sederet kelaliman dan arogansi.
Sedangkan catatan kelima adalah kesalahan dalam menilai atau menghukumi sebuah masalah. Hal ini dapat dilihat ketika Barat menilai seluruh agama dengan sudut pandang agama Kristen sebagai agama yang dikenal di Barat. Contoh lainnya juga dapat disaksikan, ketika Barat menghukumi kebebasan sebuah negara dengan standar Barat tanpa melihat latar belakang masyarakat yang berbeda-beda.
Konspirasi catatan keenam bisa disebut sebagai konspirasi renaissance. Barat sengaja membiarkan budaya Timur tanpa dikritik, bahkan membuat bangsa Timur lupa diri karena pujian-pujian Barat. Padahal cendekiawan Barat diharapkan mengritik tradisi dan budaya Timur yang kemudian bisa dijadikan sebagai langkah progresif dalam rotasi pemikiran dan sosial.
Namun, sangat disayangkan bahwa sejumlah cendekiawan Barat tidak menawarkan metode yang kemudian bisa diaplikasikan. Bahkan sebaliknya, Barat justru memberikan pernyataan dukungan atas budaya dan tradisi Timur. Jika Barat tidak berbohong dengan pujian-pujiannya untuk bangsa Timur, mengapa Barat tidak berusaha menerapkan budaya tersebut di Barat.
Sejumlah cendekiawan Barat sengaja mempelajari budaya Indonesia dan mengomentari budaya dan tradisi Indonesia. Karena Barat mengomentari budaya Indonesia, komentar tersebut diabadikan, bahkan dijadikan sebagai rekomendasi untuk mengunggulkan budaya Timur.
Pada akhirnya, bangsa Timur larut serta merasa cukup dengan budaya atau tradisi yang dimilikinya. Bahkan, Islam sebagai agama samawi juga dibanjiri pujian cendekiawan Barat yang dapat melengahkan umat Islam. Perilaku ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pengkhianatan Barat terhadap sejarah manusia.
Adapun catatan terakhir atau ketujuh yang sangat menonjol adalah pembudayaan pluralisme dan toleransi. Pluralisme dan toleransi sangat menguntungkan politikus dan investor Barat, dan sangat merugikan dunia Timur. Pluralisme dan toleransi sama sekali tidak ada masalah di bidang perdagangan, bahkan di bidang politik. Pluralisme dan toleransi dalam dua bidang ini sama halnya dengan tawaran konstruktif untuk mempelajari metode ilmiah.
Namun, pluralisme dan toleransi dalam koridor epistomologi merupakan hal yang sama sekali tidak menguntungkan. Lewat dua istilah itu, Barat dari satu sisi sama sekali tidak mengritik budaya dan tradisi Timur, sedangkan dari sisi lain, Barat menjadikan bangsa Timur tidak sensitif dengan pemikiran baru Barat.
Saya sama sekali tidak menolak pluralisme dan toleransi, namun kedua hal ini semestinya ditempuh setelah proses kritis terhadap pokok masalah. Jika kedua hal ini dilakukan sebelum proses tersebut, efeknya berbahaya. Oleh karena itu, sangat disayangkan bahwa Barat mengajak membudayakan pluralisme dan toleransi sebelum melewati proses kritis terhadap pokok masalah.
*Naskah ini merupakan karya Ali Reza, yang diterbitkan Harian Republika pada September 2006, ditayangkan ulang dengan modifikasi.