REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT — Petugas penyelamatan Lebanon terus menggali reruntuhan bangunan yang hancur pada Rabu (5/8) waktu setempat. Mereka terus berupaya mencari korban selamat dari ledakan besar tersebut.
Kepala Palang Merah Lebanon, George Kettani mengatakan, setidaknya 100 orang meninggal dunia, pencarian masih berlanjut. Insiden itu diketahui telah melukai hampir 4.000 orang.
Para pejabat mengatakan jumlah korban diperkirakan akan terus meningkat dari ledakan di gedung-gedung pelabuhan yang menyimpang bahan-bahan eksplosif. Ledakan itu adalah paling dahsyat yang pernah terjadi di Beirut, sebuah kota yang dilanda perang saudara selama tiga dekade serta menghadapi krisis ekonomi dan pandemi virus corona.
Bahkan, ledakan itu terasa hingga pulau Mediterania Siprus yang berjarak sekitar 100 mil (160 km) jauhnya. Presiden Michel Aoun mengatakan, 2.750 ton amonium nitrat disimpan di pelabuhan tanpa langkah keamanan selama enam tahun.
Atas peristiwa itu, Aoun mengatakan, pemerintah bertekad menyelidiki dan mengekspos apa penyebab ledakan, meminta pertanggungjawaban jika ada kelalaian, serta memberi sanksi hukuman berat. Sebuah sumber yang berhubungan dengan investigasi awal mengatakan insiden itu terjadi karena kelambanan dan kelalaian. Selama ini, komite dan hakim tidak melakukan pemusnahan bahan berbahaya itu.
"Ini adalah bencana bagi beirut dan Lebanon," ujar Wali Kota Beirut, Jamal Itani.