REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, rencana pemerintah untuk memberikan bantuan tunai ke pegawai berpendapatan Rp 5 juta akan menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan. Selain itu, kebijakan ini tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga.
Persoalan pertama, Tauhid mengatakan, masyarakat yang bekerja sebagai karyawan atau pegawai mencapai 52,2 juta orang. Sedangkan, bantuan berupa gaji ditargetkan hanya untuk 13 sampai 15 juta orang yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
"Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan. Kenapa hanya peserta BPJS saja yang dijadikan dasar, ketika semua merasa berhak kalau konteksnya untuk pekerja," tuturnya dalam diskusi secara virtual, Rabu (6/8).
Di satu sisi, Tauhid menegaskan, masih banyak korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19 yang belum mendapatkan bantuan, baik berupa bantuan nontunai maupun kartu prakerja.
Tauhid menjelaskan, masyarakat dengan pendapatan Rp 5 juta per bulan pun sebenarnya bukan masuk dalam kategori warga miskin. Dari sisi pengeluaran, seharusnya bantuan tunai ini diberikan untuk ke mereka yang berpendapatan di bawah Rp 2,3 juta per bulan.
"Mereka sebenarnya paling berhak," ujarnya.
Tauhid menuturkan, penghasilan buruh pun saat ini masih berada pada level Rp 2,9 juta per bulan. Artinya, mereka yang tidak termasuk buruh akan mendapatkan bantuan. Dampaknya, akan ada kesenjangan yang semakin besar antara masyarakat desil satu dengan kelompok lebih mampu.
Tauhid menekankan, rencana pemerintah untuk memberikan bantuan gaji ini patut dikritisi mengingat anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 31 triliun. "Itu luar biasa besar. Kalau dibagikan ke kelompok terbawah, desil satu, akan sangat berarti," katanya.
Tidak hanya itu, rencana pemberian bantuan sosial berupa gaji juga tidak akan efektif mendorong perekonomian dari sisi konsumsi. Sebab, Tauhid menyebutkan, masyarakat dengan penghasilan Rp 5 juta yang berarti masuk ke golongan kelas menengah akan lebih memilih menyimpan uang untuk berjaga-jaga atau tabungan.
Tauhid mengingatkan, masyarakat kelas menengah biasa menggunakan pengeluaran mereka untuk non makan, baik pendidikan, kesehatan, hotel dan restoran. Sedangkan, dalam situasi pandemi, pengeluaran jenis ini akan sangat terbatas. “Inilah kenapa menurut saya, bantuan sosial ke kelompok (pendapatan) Rp 5 juta per bulan akan jadi masalah dan uang itu akan sia-sia,” katanya.
Saat ini, pemerintah sedang mengkaji beberapa skema bantuan tunai berupa tambahan gaji Rp 2,4 juta ke 13 juta pekerja dengan pendapatan di bawah Rp 5 juta per bulan. Opsi yang diberikan adalah langsung dibayarkan secara penuh atau dibagi ke beberapa tahap.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, total anggaran yang disiapkan pemerintah untuk bantuan tersebut adalah Rp 31,2 triliun. "Apakah nanti dibayarnya sekali atau berapa kali pembayaran, ini sedang kita finalisasi," tuturnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/8).