REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Rizky Jaramaya, Adinda Pryanka
Korban meninggal akibat ledakan Lebanon yang terjadi kemarin terus bertambah. Angka resmi mencatat 137 orang meninggal dunia akibat ledakan dan lebih dari 5.000 orang terluka.
Dampak ledakan di pelabuhan Beirut tersebut memang dahsyat. Sebanyak 30 ribu warga Beirut terbengkalai karena rumahnya rusak atau hancur akibat ledakan.
Investigasi terkait penyebab ledakan Lebanon sedang berjalan di Lebanon. Upaya penyelidikan dipimpin oleh pemerintah. Siapa yang bersalah merupakan pertanyaan yang ditunggu jawabannya oleh dunia.
Dilansir dari BBC, Kamis (6/8), pemerintah mengatakan pihak yang bertanggung jawab menjaga pelabuhan yang menjadi pusat ledakan akan dimintai pertanggungjawabannya. Pihak tersebut akan segera ditahan secepat mungkin.
Ledakan di pelabuhan Beirut dipastikan berasal 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan gudang. Kerugian akibat ledakan dikatakan Gubernur Marwan About bisa mencapai 15 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 218 triliun.
Masyarakat Lebanon, Beirut pada khususnya, kecewa dan marah pascaledakan. Pasalnya pejabat berwenang diketahui bahan berbahaya itu sudah ada di pelabuhan Beirut selama lebih dari enam tahun.
Media sosial di Lebanon menyuarakan kekecewaan publik. Tagar #علقوا_المشانق
menjadi trending, yang artinya kira-kira gantung pihak yang bertanggung jawab.
Ramez al-Qadi, seorang pembawa berita TV yang terkenal, bercicit, "Ini masalah mereka yang membunuh kita atau kita yang bunuh mereka."
Ketegangan memang memuncak di Lebanon. Siapa yang bersalah menjadi topik paling hangat.
General Manager Pelabuhan Beirut, Hassan Koraytem, mengatakan kepada OTV pihak pelabuhan menyadari ada bahan berbahaya yang disimpan di pelabuhan. Kesadaran tersebut muncul sejak adanya perintah pengadilan yang menginstruksikan amonium nitrat disimpan di gudang. Ia namun tidak menyadari efek bahayanya bisa sebesar ledakan kemarin.
Menteri Informasi Manal Abdel Samad mengatakan tahanan rumah akan berlaku bagi seluruh pejabat pelabuhan yang menangani urusan penyimpanan amonium nitrat, menjaganya dan mengurus administrasinya sejak Juni 2014.
Amonium nitrat yang menyebabkan ledakan tiba di Beirut dengan kapal berbendera Moldova, The Rhosus. Kapal tersebut masuk ke Beirut setelah mengalami masalah teknis dalam perjalanannya dari Georgia ke Mozambik, menurut Shiparrested.com. Sejumlah masalah legal lalu dihadapi kapal tersebut.
Kapal The Rhosus kemudian diinspeksi, hasilnya kapal dilarang meninggalkan tempat dan tidak lama setelah itu ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Masalah klaim legal muncul setelahnya. Kargo kapal yang berisi amonium nitrat lalu diperintahkan untuk disimpan dalam gudang pelabuhan atas alasan keamanan, seperti isi laporan.
Dilansir dari CNN, kapal dimiliki oleh perusahaan bernama Teto Shipping. Kru kapal mengatakan perusahaan dimiliki oleh pebisnis Khabarovsk dengan nama Igor Grechushkin. Ia tinggal di Siprus.
Para pelaut dalam The Rhosus sempat berada di dalam kapal selama 11 bulan dengan pasokan terbatas. Kapten kapal Boris Prokoshev mengatakan dia menulis surat ke Presiden Rusia Putin setiap hari selama ada di Beirut.
"Akhirnya kami harus menjual bahan bakarnya dan menggunakan uangnya untuk menyewa pengacara karena tidak ada bantuan. Pemilik bahkan tidak menyediakan kami dengan makanan atau air," kata Prokoshev, dalam wawancara radio dengan Echo Moscow.
Akhirnya kapten dan kru meninggalkan kapal. Kabarnya, kru berkebangsaan Rusia akhirnya direpatriasi pulang ke negaranya. Gaji mereka disebut tidak pernah dibayarkan.
Dalam surat elektronik yang dikirimkan antara Prokoshev dengan pengacara asal Beirut, Charbel Dagher, yang mewakili kru kapal di Lebanon, amonium mitrat dikeluarkan dari kapal ke gudang sejak November 2014 dan disimpan di hanggar.
Ribuan ton amonium nitrat berada di sana selama enam tahun, meski sudah ada peringatan berulang kali dari Direktur Bea Cukai Lebanon, Badri Daher. Ia memperingatkan bahaya menyimpan amonium nitrat dalam jumlah besat secara berilang kali.
Aktivis HAM Lebanon, Wadih Al-Asmar, mengatakan lewat dokumen yang dilihatnya, Daher dan pemilik jabatan sebelumnya sudah berulang kali meminta pengadilan membuang bahan berbahaya tersebut. Permintaan tersebut telah dilakukan sejak 2014.
Menurut Daher, ia bahkan sempat menawarkan menjual bahan berbahaya tersebut ke tentara Lebanon. Tapi tetap tidak ada respons.
Secara total ada enam surat yang dikirimkan ke pihak berwenang. Tidak ada satupun yang dibalas.
Menteri Pekerjaan Umum Michel Najjar mengatakan kepada Aljazirah, dia mengetahui keberadaan bahan peledak yang disimpan di pelabuhan Beirut 11 hari sebelum ledakan. Dia mengetahuinya melalui laporan yang diberikan oleh Dewan Pertahanan Tinggi Lebanon.
"Tidak ada menteri yang tahu apa yang ada di hanggar atau kontainer, dan bukan tugas saya untuk mengetahuinya," kata Najjar.
Najjar mengatakan dia menindaklanjuti masalah tersebut namun pada akhir Juli pemerintah memberlakukan lockdown di tengah pandemi virus corona. Pada Senin (3/8), Najjar berbicara dengan manajer umum pelabuhan, Hasan Koraytem. Ketika itu, Najjar meminta Koraytem mengirimkan semua dokumen yang relevan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Namun permintaan Najjar terlambat. Keesokan harinya, sekitar pukul 18.00 waktu setempat sebuah gudang di pelabuhan meledak dan menghancurkan sebagian besar kota Beirut.
Najjar mengatakan pada Rabu (5/8) dirinya telah mengirim 18 surat kepada hakim terkait masalah mendesak Beirut sejak 2014. Namun pengadilan tidak melakukan apa pun. Najjer menolak untuk memberikan dokumen tersebut kepada Aljazirah dengan alasan penyelidikan berkelanjutan atas penyebab ledakan.
"Pengadilan tidak melakukan apa-apa. Itu kelalaian," ujar Najjer.
Seorang ahli hukum Lebanon terkemuka Nizar Saghieh mengatakan tanggung jawab untuk mengawasi pelabuhan terletak pada otoritas pelabuhan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Bea Cukai Lebanon. Dia menegaskan bahwa hakim tidak memiliki peran untuk menemukan tempat-tempat yang digunakan menyimpan barang berbahaya.
"Jelas tidak tergantung pada hakim untuk menemukan tempat yang aman untuk menyimpan barang-barang ini," ujar Saghieh.
Puluhan ribu warga Beirut masih akan hidup tanpa ketidakjelasan di hari kedua pascaledakan. Grup Bank Dunia mengatakan, pihaknya siap untuk melakukan pengayaan terhadap kerusakan yang terjadi pada Lebanon setelah ledakan di pelabuhan Beirut dan kebutuhan pendanaannya. Bank Dunia juga akan bekerja membantu memobilisasi pembiayaan publik dan swasta untuk rekonstruksi dan pemulihan.
Dalam pernyataannya, Rabu (5/8), Bank Dunia memastikan bersedia memprogram ulang sumber daya yang ada dan mengeksplorasi pembiayaan tambahan bagi Lebanon. Tujuannya, mendukung pembangunan kembali kehidupan dan mata pencaharian orang-orang yang terkena dampak kejadian tersebut,
Bank Dunia tidak menjelaskan secara detail, sumber daya mana yang dapat dialihkan untuk upaya pemulihan ledakan. Seperti dilansir di Reuters, Kamis (6/8), pada Juni, pemberi pinjaman pembangunan multilateral tersebut mengumumkan akan mengalokasikan kembali 40 juta dolar AS dari program kesehatan 120 juta dolar AS yang ada untuk Lebanon dalam memerangi pandemi Covid-19.