REPUBLIKA.CO.ID, MANILA- Sekelompok anggota parlemen Muslim, pengacara, dan penduduk Mindanao telah mendatangi Mahkamah Agung pada Senin (3/8) lalu. Mereka menyampaikan petisi untuk menolak undang-undang undang-undang anti-terorisme yang baru-baru ini disahkan. Undang-undang itu diklaim justru menimbulkan tindakan diskriminatif yang menyasar umat Muslim.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Mujiv Hataman dan Anak Mindanao (AMIN), Amihilda Sangcopan, memimpin aksi protes untuk menentang undang-undang anti-terorisme yang baru-baru ini disahkan itu. Mereka menyampaikan petisi untuk menolak undang-undang baru itu, dan mengatakan adanya unsur Islamofobia dalam undang-undang tersebut, mengingat banyaknya Muslim yang ditangkap tanpa ada alasan yang jelas.
"Di Mindanao, terutama di komunitas Muslim, sering terjadi jamaah masjid, pengaji, muazin, bahkan pedagang pasar sederhana dan pengemudi truk diseret oleh penegak hukum, hanya karena dicurigai sebagai pendukung, kerabat, rekan konspirator atau peserta aktif dalam tindakan pemberontakan, penculikan, dan apa yang sekarang mereka sebut terorisme," salah satu isi petisi yang dikutip di ABS-CBN, Kamis (6/8).
"Ini lebih dari beberapa kasus sederhana identitas yang keliru. Ini adalah prasangka dan ketidakadilan dalam ketakutan yang tidak berdasar terhadap umat Islam. Ini adalah diskriminasi agama, jelas dan sederhana. Undang-undang yang diserang di sini mengancam untuk melegalkan tindakan-tindakan negara yang jelas-jelas menjijikkan ini," tulisnya.
Mereka mengatakan ketentuan di bawah Undang-Undang Anti-Terorisme justru membatasi kebebasan menjalankan agama. “Jika sebelumnya kita bisa langsung berseru 'Allahu Akbar' saat mendengar kabar baik atau saat memuji Allah, sekarang kita harus sadar dulu akan tempat dan lingkungan kita, tapi sekarang dipandang sebagai kesetiaan kepada ISIS," ujarnya.
Petisi itu juga mengkritik para penegak hukum yang melakukan penangkapan atas dasar kecurigaan belaka dan informasi yang tidak diverifikasi. Adapun mayoritas korban penangkapan adalah Muslim yang semua telah terdata oleh pemohon petisi.
Hataman dan Sangcopan bergabung dengan pengacara Satrina Mohammad, Jamar Kulayan, Alman-Najar Namia dan Bensaud Degusman, seniman visual Remeer Tawasil, dan imam Sheikh Jamsir Jainal. Sedangkan yang disebut sebagai responden adalah Dewan Anti Terorisme, anggotanya, Badan Koordinasi Intelijen Nasional, Senat, dan DPR.
Para pemohon petisi bahkan meyakinkan bahwa penceramah tidak lagi berbicara tentang jihad, karena kekhawatiran terjadinya ambiguitas yang dikaitkan dnegan terorisme. Pembatasan ini sejatinya telah mencoreng kebebasan berekspresi, kata mereka.
Ketakutan akan tindak diskriminasi dan Islamofobia ini, bukanlah hal tidak berdasar, karena para pemohon petisi telah melampirkan bukti beberapa insiden penangkapan Muslim yang keliru, hingga instruksi pembaharuan profil siswa Muslim Filipina di Metro Manila.
Selain meminta pengadilan tinggi untuk menyatakan seluruh UU Anti Terorisme inkonstitusional, pemohon juga meminta MA menghentikan penerapan UU tersebut. Namun mereka mengklarifikasi bahwa terlepas dari keprihatinan mereka, mereka menentang terorisme dan mendukung penuh perdamaian tanpa harus mengorbankan kebebasan. "Perdamaian dengan harga berapapun bukanlah perdamaian, dan korban jiwa sangat tinggi," kata mereka.