REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Arie Lukihardianti, Sapto Andika Candra, Antara
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Penghasil Vaksin Bio Farma terus mempersiapkan diri untuk uji klinis vaksin corona SARS-CoV2 (Covid-19) Sinovac. Penyuntikan vaksin yang diberikan ke dalam tubuh para relawan akan dimulai 11 Agustus 2020.
Head of corporate communication PT Bio Farma (Persero) Iwan Setiawan mengatakan, sedikitnya 800 orang telah mendaftar menjadi relawan vaksin ini hingga Kamis (6/8). "Kemudian kami rencanakan mulai menyuntik mereka pekan depan tanggal 11 Agustus 2020," ujarnya saat dihubungi Republika.
Penyuntikan dilakukan bertahap karena tidak mungkin semua relawan disuntik di hari yang sama. Ia mengungkap, kemungkinan 20 relawan per hari mendapat injeksi. "Jadi relawan yang disuntik tidak sekaligus bersamaan," katanya.
Kemudian, dia menambahkan, para relawan ini akan kembali ke rumah masing-masing dan dipantau selama enam bulan. Selama rentang waktu itu, ia menyebut relawan akan mendapatkan lima kali kunjungan.
Ketua Tim Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), Kusnandi Rusmil, menambahkan di antara relawan yang sudah mendaftar adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Wali Kota Bandung Oded M Danial. Tim mengaku mendapat respons positif dari masyarakat terkait uji klinis calon vaksin Covid-19. Hal tersebut, terbukti dengan banyaknya pendaftar yang berminat untuk menjadi relawan.
Namun, kata dia, tak semua relawan lolos dalam seleksi yang dilakukan tim dari Unpad karena persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya yakni warga Kota Bandung. "Alhamdulillah respons sangat bagus, banyak sekali yang mau jadi relawan. Sampai sekarang sudah ada 800 orang. Pak Gubernur dan Wali Kota juga siap jadi relawan, tapi saya bilang boleh-boleh saja, asalkan diperiksa dulu," ujar Kusnandi di FK Unpad, Jalan Eyckman, Kota Bandung, Kamis (6/8).
Kusnandi mengatakan, banyak tenaga medis termasuk dokter yang mengajukan diri untuk menjadi relawan. Namun, tim menolak karena lokasi tenaga medis tersebut berada di luar Kota Bandung. Sehingga, dinilai cukup sulit untuk melakukan proses pemantauan yang berlangsung selama enam bulan.
"Penelitian ini akan ada lima kali datang, takutnya nanti mereka ada keperluan mendadak itu akan menjadi sulit. Jadi yang dianjurkan dan diterima itu dari Kota Bandung. Maksudnya itu supaya kita gampang memantaukan," paparnya.
Kusnandi pun memastikan, proses pendaftaran bagi relawan masih berlanjut selama dua bulan sejak Juli hingga Agustus ini. Karena, tim penliti masih kekurangan jumlah relawan dari target 1.620 orang.
"Jadi kami sekarang masih membuka pendaftaran selama dua bulan (Juli-Agustus), dan uji klinis akan dimulai nanti tanggal 11 (Agustus) di enam tempat yang sudah kita tentukan," katanya.
Tiap relawan nantinya akan mendapat insentif sebesar Rp 1 juta. Kusnandi mengatakan insentif tersebut akan dibagi lima. Yakni, pada saat para relawan menjalani lima kali pemeriksaan. Sekali datang pemeriksaan, relawan akan mendapat insentif Rp 200 ribu.
"Sekali datang itu dikasih Rp 200 ribu, jadi lima kali datang itu Rp 1 juta selama lima bulan," ujar Kusnandi.
Kusnandi menjelaskan, insentif tersebut merupakan uang ganti ongkos atau bensin saat melakukan pengecekan. Namun ia berharap relawan yang mendaftar tidak berorientasi pada uang insentif tersebut.
"Jadi bukan karena kepingin uang, itu tidak bagus. Karena uji klinis ini kan sukarela sifatnya," katanya.
Selain uang insentif, kata dia, relawan juga akan mendapat asuransi kesehatan selama proses pemantauan selama enam bulan usai disuntik vaksin. Relawan nantinya, bisa memeriksakan kesehatan ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat jika mendapat keluhan usai disuntik.
"Iya bisa dokter atau klinik mana saja, yang pasti di Bandung. Nanti saya akan tanya-tanya ke dokternya, apakah si subjek tersebut sakit ada kaitannya dengan suntik (vaksin) atau bukan? Saya yang akan tanya-tanya ke dokternya," paparnya.
Dokter laboratorium riset uji vaksin dari Tim Peneliti dari Fakultas Kedokteran Unpad, dr Sunaryati Sudigdoadi, mengatakan ada lima tahap yang bakal ditempuh oleh para calon relawan nantinya saat proses uji klinis vaksin. Tahap yang paling awal adalah menerima penjelasan dari tim dokter yang akan melakukan uji klinis.
"Jadi tujuan simulasi ini untuk menunjukkan kepada relawan, bagaimana alurnya, apa keuntungannya dan sebagainya, karena pada penelitian ini, subjek atau relawan ini akan ada lima kali kunjungan," kata Sunaryati.
Setiap kunjungan itu diberi istilah dengan visit, lalu setiap visit disingkat dan diteruskan dengan angka, contohnya V0, V1, V2, dan seterusnya. Pada V0, Sunaryati menjelaskan, para relawan akan diberi edukasi oleh dokter yang menangani. Edukasi itu meliputi apa yang boleh dilakukan dan yang tidak diperkenankan.
"Kemudian setelah menyetujui, ada penandatanganan. Karena kita tidak boleh memaksa relawan, jadi relawan harus sukarela ikut ini," kata dia.
Setelah itu, kata dia, para relawan bakal diperiksa kondisi kesehatannya, masih dalam V0. Pemeriksaan itu meliputi pemeriksaan tekanan darah, berat badan, tinggi badan, dan menanyakan apakah ada penyakit bawaan.
"Kalau sudah selesai itu, lalu dilakukan pengambilan tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR), kemudian sampel tesnya dikirim ke laboratorium," kata dia.
Ia menjelaskan, hasil pemeriksaan itu diketahui setelah dua hari atau diberikan kepada relawan hasil PCR-nya, pada visit 1 (V1). Apabila hasil PCR menunjukkan positif, maka menurutnya otomatis relawan itu tidak bisa mengikuti uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac itu. Namun apabila negatif, maka proses akan berlanjut kepada pemeriksaan kesehatan lagi, ditambah dengan tes cepat Covid-19.
"Pada saat V1 itu lagi-lagi dilakukan pemeriksaan fisik, tekanan darah, kemudian dilakukan pemeriksaan rapid test (tes cepat) yang ada di tempat. Jadi rapid test itu dilakukan saat V1," kata dia.
Ia menjelaskan, kalau rapid test-nya non reaktif, artinya dia sudah memenuhi syarat. Lalu relawan akan menandatangani bahwa dia sudah masuk kriteria menjadi subjek atau relawan dan mulai disuntik (vaksin) pada V1 itu.
Setelah penyuntikan vaksin, tim dokter akan mengobservasi relawan tersebut. Karena, kata dia, kemungkinan akan terjadi reaksi-reaksi dalam rentang waktu 30 hingga 40 menit setelah penyuntikan.
Maka dari itu, pihaknya juga sudah menyiapkan tempat observasi apabila ada reaksi yang dialami relawan. Apabila tidak ada reaksi, maka relawan itu diperbolehkan pulang.
"Lalu relawan diinformasikan untuk datang pada kunjungan-kunjungan berikutnya, ada V2, V3, V4. Lalu pada V2, dua pekan setelah V1, itu dikasih vaksinasi kedua," katanya.
Kemudian apabila ada gejala-gejala yang dialami oleh para relawan, ia meminta agar melaporkan hal tersebut ke tempat dilakukannya vaksinasi. "Jadi semua yang terjadi kita lakukan pemantauan, kalau gejala ringan ya sesuai dengan protokol Covid-19, ya isolasi mandiri saja. Kalau berat, ya dirawat ke rumah sakit, itu mendapat asuransi," kata dia.
Kehalalan Vaksin
Sementara uji klinis dilakukan Bio Farma terus menjalin komunikasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Usai uji klinis dan dinyatakan berhasil, Bio Farma berkomitmen mendaftarkan sertifikasi halal vaksin ini ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Head of corporate communication PT Bio Farma (Persero) Iwan Setiawan mengaku terkait kehalalan vaksin, pihaknya menerapkan halal assurance system (HAS) dalam produksi setiap vaksin. Kendati demikian, pihaknya belum mendaftarkan sertifikasi vaksin ke BPJH karena belum diproduksi.
"Vaksinnya belum ada karena masih proses uji klinis," katanya. Kendati demikian, Iwan mengaku terus menjalin komunikasi dengan LPPOM MUI karena Bio Farma mengaku menaruh perhatian besar terkait kehalalan produk yang dihasilkan.
Setelah uji klinis selesai dilakukan pada Januari atau Februari 2021, Bio Farma segera mendaftarkan sertifikasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk keamanan produk dan BPJH. Ia menyebutkan alur pendaftaran yaitu ke BPOM, setelah dinyatakan lolos kemudian ke BPJH untuk mendapatkan sertifikasi halal. Kemudian, dia melanjutkan, LPPOM MUI yang melakukan penilaian.
Ia menjelaskan, vaksin ini berasal dari bahan baku 100 persen impor dari Cina kemudian bentuknya yang masih setengah jadi dan berupa bibit inilah yang diproses di Indonesia. Komposisi vaksin ini yang nanti diperiksa.
"Nah, ini harus dipastikan semua bahan baku yang dipakai ada sertifikat halalnya. Tetapi tidak semua produsen mau terbuka (asal bahan baku vaksin) padahal kami impor dari beberapa pihak, makanya ini jadi kendala," ujarnya.
Padahal, ia menambahkan, pihak LPPOM MUI mengaudit asal setiap bahan atau komposisi vaksin. Ia menambahkan, jika ada bahan baku yang telah mendapatkan sertifikasi halal dari otoritas setempat maka harus tetap menjalani pengujian LPPOM MUI atau sertifikasi di negara asal telah diakui LPPOM MUI.
Jika semua bahan baku sudah memiliki sertifikat kemudian dinyatakan lolos LPPOM MUI, sertifikat halal. Dia menambahkan, proses keluarnya sertifikat halal vaksin ini tidak membutuhkan waktu lama yaitu antara satu hingga tiga bulan.
"Kemudian, otoritas yang berhak menyatakan halal dan haram vaksin adalah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kamis (6/8), memastikan belum ada satu pun negara atau lembaga riset serta perusahaan farmasi di dunia yang sudah berhasil menemukan vaksin Covid-19. Saat ini baru ada tujuh kandidat vaksin Covid-19 yang berhasil masuk uji klinis tahap ketiga. Sisanya, 25 kandidat baru masuk uji klinis tahap pertama dan 17 kandidat yang masuk uji klinis tahap kedua.
Wiku menyebutkan, Indonesia pun ikut berperan dalam pencarian vaksin yang cocok membangun antibodi Covid-19 ini. Perusahaan farmasi nasional juga menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga di luar negeri dalam riset vaksin ini. Salah satunya adalah Sinovac Biotech Ltd asal China yang digandeng oleh Bio Farma.
Sinovac sendiri berhasil memasukkan vaksin produksinya dalam tujuh kandidat vaksin Covid-19 yang mulai menjalankan uji klinis tahap ketiga. Selain Sinovac, ada pula Wuhan Institute of Biological Products atau Sinopharm, Beijing Institute of Biological Products juga dari Sinopharm, serta BioNTech-Fosun Pharma yang bekerja sama dengan Pfizer.
Selanjutnya ada University of Oxford di Inggris yang bekerja sama dengan AstraZeneca, Moderna bekerja sama dengan NIAID dari Amerika, dan terakhir adalah University of Melbourne yang bekerja sama dengan Murdoch Children's Research Institute.
"Semua negara akan berusaha keras untuk bisa mendapatkan atau menghasilkan vaksin untuk melindungi masyarakatnya. Tidak terkecuali Indonesia juga melakukan hal itu baik mencari yang terbaik di dunia yang tercepat dan terefektif. Begitu juga mengembangkan vaksin yang ada di Indonesia," jelas Wiku.