REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon menggelar upacara berkabung bagi korban ledakan Beirut. Sementara, tim SAR (search and rescue) masih mencari korban hilang dalam ledakan terbesar yang menimpa negara Timur Tengah itu.
Mulai Kamis (6/8), Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mendeklarasikan tiga hari berkabung bagi korban ledakan. Ledakan Rabu (5/8) kemarin menjadi ledakan terbesar sejak perang sipil tiga dekade lalu.
Bencana tersebut mengguncang negara yang sudah didera krisis ekonomi dan pandemi virus corona. Pemerintah mengatakan ledakan disebabkan amonium nitrat yang disimpan di dalam gudang dalam kondisi yang tak aman.
Salah satu sumber mengatakan pemerintah sudah mengeluarkan perintah penangkapan untuk pejabat pemerintah. Tapi masyarakat Lebanon menyalahkan pejabat pemerintah yang tidak bisa mengelola pemerintah dan korup.
"Mereka akan mengkambing hitamkan seseorang untuk mengelak dari tanggung jawab, ledakan ini peluru terakhir untuk membunuh negeri," kata pekerja bangunan Rabee Azer, Kamis (6/8).
Krisis ekonomi membuat banyak masyarakat Lebanon kehilangan pekerjaan dan menguras isi tabungan. Ledakan di pelabuhan yang menewaskan 137 orang kemarin juga menghancurkan gudang yang menyimpan 85 persen cadangan gandum Lebanon.
"Penyelidikan tidak akan menghasilkan apa-apa, tidak ada yang mempercayai mereka," kata Azar.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi kepala negara pertama yang mengunjungi Lebanon setelah ledakan yang melukai lebih dari 5.000 orang itu. Ia datang bersama tim bantuan dan peralatan Prancis.
Ledakan yang terjadi di Hangar 12 pelabuhan Beirut, menghancurkan berbagai bangunan beberapa kilometer dari pusat ledakan. Masih ada puluhan orang yang hilang dan sekitar seperempat juta orang kehilangan rumah mereka. Pakar memprediksi jumlah total korban tewas akan terus bertambah.