REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Arif Satrio Nugroho
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menyebutkan, pembahasan Omnibus Law membuka peluang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja rampung pada bulan ini. Sejauh ini, sepertiga bab dari total 15 bab yang ada dalam beleid sudah selesai dibahas.
Susiwijono sebagai Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Pemerintah untuk pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyebutkan, pembahasan beleid sudah dilakukan lebih dari 10 kali bersama di Panja Badan Legislatif (Baleg) DPR. Setiap pekan, setidaknya tiga sampai empat kali, rapat dilakukan.
Mempercepat pembahasan secara optimal menjadi target utama pemerintah sekarang. "Apakah bisa segera selesai atau tanggal 17 Agustus? Kami targetnya yang penting pembahasan optimal. Mudah-mudahan bisa segera selesai," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (5/8).
Susiwijono menjelaskan, pembahasan RUU Omnibus Law karena situasi saat ini yang sangat membutuhkan penerapan poin-poin dalam beleid tersebut. Tapi, ia tidak menyebutkan urgensi yang dimaksud secara detail.
Dari total 15 bab, Susiwijono menjelaskan, sebanyak lima bab sudah dibahas dalam Panja Baleg. Termasuk di antaranya tiga bab besar, termasuk perizinan berusaha.
"(Tiga) bab ini yang isinya hampir 50 persen dari substansi," katanya.
Sementara itu, klaster ketenagakerjaan yang mendapatkan perhatian banyak pihak juga terus dibahas antara pemerintah bersama serikat pekerja. Pada Rabu, Susiwijono mengatakan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sudah melaporkan hasil pembahasannya ke empat Menteri Koordinator. Ditargetkan, klaster ini sudah bisa dibawa ke Panja Baleg pada pekan depan.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, efektivitas Omnibus Law untuk menggaet investasi dan memulihkan ekonomi akan bergantung pada upaya pemerintah dalam memperbaiki pandangan publik. Saat ini, masyarakat menilai, masih banyak yang perlu diperbaiki dari draf Omnibus Law, terutama tentang ketenagakerjaan.
Pandangan publik seperti itu tentu sedikit banyak akan mempengaruhi persepsi investor. Apalagi, belum lama ini, Bank Dunia juga melihat, potensi Omnibus Law justru akan merugikan ekonomi.
"Kalau pemerintah tidak bisa menjawab pandangan Bank Dunia ini, maka tantangan menggaet investasi dari Omnibus Law ini akan semakin sulit," katanya, saat dihubungi Republika, Selasa (4/8).
Apabila dilihat dari beberapa poin kebijakan, Omnibus Law telah mencoba mengakomodasi beberapa masalah yang kerap menghambat kinerja ekonomi. Yusuf memberikan contoh dalam klaster dukungan riset dan inovasi yang salah satu poinnya ingin menyasar pengembangan ekspor barang dari produk nasional.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya memang sempat berharap agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja bisa rampung sebelum 17 Agustus tahun ini. Namun, menurut DPR, harapan itu sulit terlaksana.
"Belum, masih jauh," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya saat dihubungi, Kamis (6/8).
Willy mengatakan, DIM yang telah disepakati baru DIM yang bersifat tetap. Sedangkan masih ada dua ribuan DIM yang masih bersifat perubahan. Saat ini pembahasan DIM pun masih terus berjalan dari pekan ke pekan.
"Masih Bab III, memang paling besar porsinya Bab III, belum lagi Bab VIII, Bab IX, Bab X, Bab IV," kata Willy.
Politikus Nasdem ini menegaskan, DPR RI tak pernah menetapkan target. Ia mengklaim, DPR terbuka dalam hal waktu dalam memvahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini.
Tidak hanya terbuka untuk soal waktu, Willy mengklaim, DPR juga membuka pembahasan untuk publik. Sehingga, publik mengikuti dinamika perdebatannya.
"Artinya pemerintah, sah saja membuat target itu tapi dinamika politiknya kan dibahas bersama. ini kan tripartit ada Pemerintah, DPR dan DPD RI," kata Willy menegaskan.
Selain masalah waktu pembahasa, RUU Cipta Kerja juga ditentang oleh kalangan buruh. Sejumlah derikat buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh bersama Rakyat (Gebrak) bahkan berencana kembali melakukan aksi unjuk rasa mendesak DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Demo rencananya akan digelar tepat saat pidato kenegaraan Presiden Jokowi terjadwal di hadapan parlemen pada Jumat, 14 Agustus 2020 menandai dimulainya masa sidang ke-V tahun sidang 2020. Koordinator Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos yang juga tergabung dalam Gebrak mengatakan, demo ini tidak hanya dilakukan di Ibu Kota.
"Konfederasi di berbagai kota akan mendorong unjuk rasa serikat buruh di daerah daerah," kata Nining dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Kamis (6/8).
Untuk mendesak agar tuntutan tersebut dapat dipenuhi, Gebrak mengklaim sekitar 100 ribu orang Gebrak akan menggelar aksi serentak menuntut DPR dan Presiden Joko Widodo membatalkan omnibus law. Selain di Jakarta, aksi serentak pada 14 Agustus 2020 itu akan dilakukan di antaranya di Yogyakarta, Semarang, jawa timur, Makasar, Riau, Medan, Bandung, Lampung, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.
Gebrak menilai DPR sudah ingkar janji. Dalam pertemuan audiensi perwakilan massa aksi GEBRAK pada 16 Juli 2020 dengan Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Badan Legislasi (Baleg) di Gedung Nusantara III DPR menyatakan untuk tidak akan ada sidang dan rapat-rapat pembahasan Omnibus Waw sepanjang masa reses.
Faktanya, Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja tetap melangsungkan rapat-rapat pembahasan selama masa rehat sidang atau reses. Gebrak pun merasa DPR tidak menunjukan keberpihakan pada rakyat dengan itikad untuk segera mengesahkan Omnibus Law.
Pasalnya, Omnibus Law tersebut bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi Negara bahkan banyak memuat pasal-pasal yang merugikan berbagai kalangan rakyat, mulai petani, buruh, hingga nelayan.
Bagi petani, Omnibus Law akan membuat peran pemerintah tak ubahnya makelar tanah yang menjamin ketersediaan tanah bagi investor dengan mengorbankan fungsi sosial tanah bagi rakyat. Penggusuran dan konflik agraria akan semakin marak terjadi akibat kemudahan perampasan tanah dengan dalih penciptaan lapangan kerja, terancamnya kedaulatan pangan karna alih fungsi tanah-tanah pertanian yang semakin masif untuk kepentingan investasi dan bisnis.
"Bagi buruh, Omnibus Law RUU Cipta Kerja malahan akan menambah pengangguran dan memperburuk kondisi kerja dengan memudahkan PHK dan melanggengkan sistem kerja kontrak, magang dan alih daya," papar Gebrak.