Kamis 06 Aug 2020 21:37 WIB

Repsol dan SKK Migas Alot Bahas Blok Sakakemang

Harga jual gas yang diminta Repsol lebih tinggi karena menghitung keekonomian.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Fuji Pratiwi
SKK Migas. Pasca ditinggal oleh Chevron dan Shell, kini pemerintah melalui SKK Migas mengaku sedang diskusi alot dengan Repsol untuk pengembangan Blok Sakakemang.
Foto: Migas
SKK Migas. Pasca ditinggal oleh Chevron dan Shell, kini pemerintah melalui SKK Migas mengaku sedang diskusi alot dengan Repsol untuk pengembangan Blok Sakakemang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dampak pandemi dan turunnya harga minyak dunia membuat investor mengencangkan ikat pinggang. Pasca ditinggal oleh Chevron dan Shell, kini pemerintah melalui SKK Migas mengaku sedang diskusi alot dengan Repsol untuk pengembangan Blok Sakakemang.

Baca Juga

Repsol memegang hak kelola Blok Sakakemang. Dalam perjalanan eksplorasi Repsol berhasil menemukan cadangan gas sebesar 2 Tcf di wilayah Blok Sakakemang. Sayangnya, pengembangannya masih belum mendapatkan titik cerah sebab kebijakan harga gas khusus.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko mengaku saat ini SKK Migas sedang diskusi alot dengan Repsol soal kelanjutan proyek Sakakemang. Kebijakan harga gas khusus disinyalir menjadi persoalan bagi Repsol.

"Saat ini kita dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut atau tidak. Karena harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga yang kita coba bisa jual di Indonesia," ujar Arief dalam sebuah diskusi, Kamis (6/8).

Arief menjelaskan, alotnya diskusi ini terjadi lantaran perusahaan minyak dan gas asal Eropa itu meminta harga gas dijual di atas 7 dolar per MMBTU. Padahal, pemerintah telah menurunkan harga gas yang dijual di Indoensia untuk sektor industri maksimal 6 dolar per MMBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016.

Diakui Arief, harga jual gas yang diminta Repsol lebih tinggi karena menghitung keekonomian mereka dalam memproduksi gas. Indikatornya mulai dari biaya eksplorasi hingga eksploitas yang diimplementasikan dalam Internal Rate of Return (IRR) tingkat efisiensi dari suatu investasi dan Net Present Value (NPV), yakni perbedaan antara nilai sekarang dari arus kas yang masuk dan nilai sekarang dari arus kas keluar pada sebuah waktu periode.

"Kalau kita hanya pikirkan IRR kontraktor, penerimaan negara berkurang. Jadi kita harus imbang jaga keekonomian kontraktor dan penerimaan negara tidak berubah," kata Arief.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement